Harta Tahta Renata

Ratih widiastuty
Chapter #65

Si Mata Teduh (Cerita Rania)

05.40 WIB – Rumah Rania

“Kakak, Kica, bangun udah mau jam 6 nih. Ayo mandi, nanti Om Agus keburu jemput”, panggilku pada kedua anakku yang masih terlelap dibalik selimutnya.

“Kak, ayo bangun, biar bisa sarapan dulu”, sahutku sambil mengusap rambutnya, namun anak sulungku masih enggan membuka mata. Sementara Kica hanya menggeliat lalu membalikkan badannya.

“Aku gak mau sekolah Ma”, ujar Kica.

“Loh kok gak sekolah, baru naik TK besar harus semangat dong. Nanti Bu Guru sedih kalau Kica gak masuk”, bujukku sambil mengusap punggungnya.

“Habis Kakak juga gak mau sekolah katanya, aku juga mau di rumah aja main Little Pony”.

“Siapa bilang gak sekolah, Kakak ayo bangun Nak. Mama udah siapin bekal kalian tuh”.

Akhirnya si sulung terbangun dari tidurnya, dia hanya duduk di kasur dengan wajah murung tak bergairah.

“Aku pusing Ma”, sahutnya dengan memelas.

Kuhela nafas sambil mengucap Istigfar dalam hati. Sungguh kesabaranku yang sudah menipis ini kian terkikis. Kemarin si sulung selalu murung, kini adiknya juga ikut-ikutan malas sekolah. kadang mereka ribut hanya karena hal sepele, sementara aku harus konsentrasi membuat pesanan Brownies di tengah-tengah keributan kakak-beradik.

Tin Tiiiin

Suara klakson motor terdengar di pekarangan rumah, ternyata Mas Agus sudah siap untuk menjemput si sulung.

“Mas, anak-anak gak sekolah kayaknya. Si Kakak murung terus, Kica ikut-ikutan gak mau sekolah”, ujarku di balik pintu pagar.

“Oh gitu? Kakak sakit ya Bu? Soalnya dari kemarin mukanya pucat terus”, jawab Mas Agus.

“Saya gak tau Mas, semenjak Papanya gak ada dia suka murung”, jawabku.

“Iya saya tau. Sabar ya Bu, saya ga tega liat anak-anak. Saya udah antar jemput mereka selama 3 tahun, jadi ikut sedih dengernya”.

“Makasih. Tolong titip anak-anak ya Mas, pokoknya jangan sampai telat jemput kalau di sekolah”.

“Iya Bu, Inshaallah anak-anak saya jaga. Guru-guru sampai satpam juga udah pada kenal sama saya”. Kalau anak-anak gak sekolah saya mau ngojek lagi Bu. Assalamualaikum”, pamit Mas Agus sambil memutar motornya.

Kujawab salamnya sambil beranjak masuk dan kembali ke meja kerja. Sebuah meja makan yang sudah penuh dengan aneka bahan kue, baskom, timbangan dan mikser yang siap tempur menjemput rejeki. Kubiarkan Kila dan Kica bermalas-malasan di dalam kamar, aku masih kesal karena menurutku bolos sekolah itu tidak dibenarkan.

“Mama, aku laper. Aku mau sarapan boleh enggak”, rengek Kica yang tiba-tiba berdiri di sampingku.

“Kamu makan bekal yang tadi Mama siapkan aja, kan gak jadi masuk sekolah ”, jawabku ketus.

“Aku mau telor ceplok Ma, gak mau makan kue bolu”, sungutnya.

“Makan aja yang ada Nak, Mama sibuk ini”, jawabku dengan kesal. Hampir saja telur yang sedang kupecahkan remuk karena nyaris kubanting.

“Nenek bikinin telornya ya Sayang. Kica tungguin dede Kian dulu di kamar ya”, sahut ibuku menenangkan Kica yang nyaris menangis karena kubentak barusan.

“Rania, kasian anak-anak kamu. Cari tau lah kenapa mereka kaya gitu. Mama juga ikutan stres kalau tiap hari semua orang di rumah ini pada marah-marah”, sahut ibuku sambil menggoreng telur untuk anakku.

“Rania pusing Ma. Harus bikin kue, mondar-mandir anter pesenan, bikin strategi buat naikin penjualan, sambil ngurusin 3 anak yang sekarang uring-uringan. Kesabaran Rania habis Ma, kalau gak inget Mama sama anak-anak, Rania udah nyerah Ma”, isakku sambil menahan tangis.

“Mama juga sedih Ran, Mama tau kamu cape. Beban kamu sudah sangat banyak, tapi kamu harus tetep kuat”, ujarnya sambil menggoreng telur sambil sesekali menyeka air matanya.

Lihat selengkapnya