07.00 WIB – Stasiun KA Bandung
“Halo Bos, ada yang nawarin spare part nih. sama ongkos masang jadinya 2 juta. Kalau mau, saya pesen sekarang nih”, seru Koh Leo dalam sambungan teleponku.
“Aduh Koh, duitnya belum ada kalau segitu. Kalo dibawah 1 juta saya mau deh”, jawabku sambil memijat kening saat mendengar harganya.
“Gak ada kalo di bawah sejuta, ini juga inden Bos”.
“Saya cari sendiri aja deh Koh. Titip mobil dulu ya, kalau nemu tar saya kasih Koh Leo”.
“Boleh Bos, kalau memang ada yang lebih murah gak apa-apa. Saya cuma nawarin, siapa tau perlu cepet aja”.
“Nanti deh Koh, saya juga mau ke luar kota dulu. Nanti saya kabari ya”, jawabku sambil mengakhiri panggilan Koh Leo.
Kepalaku berdenyut mendengar biaya yang harus dikeluarkan untuk spare part mobil, ditambah lagi saat ini uangku sudah kian menipis. Belum lagi pekerjaan yang harus kuselesaikan untuk mengerjakan hutangku pada Dion. Dengan terpaksa aku merogoh kocek untuk membeli tiket kereta agar aku bisa bertemu Om Frans di Jakarta. Ia adalah konsultan yang mempertemukanku dengan Hardian, kuharap ia juga bisa membantuku untuk mendapatkan investor baru.
12.30 WIB – Mall Pacific Place
“Ray, aduh apa kabar kamu? Semenjak bisnis sama Hardian kok jadi gak kedengeran kabarnya nih”, sapa Om Frans saat ia baru saja tiba di sebuah café yang kudiami.
“Ya begini saja Om, biasa lah keadaan selalu naik turun. Saya lagi butuh bantuan nih”, jawabku sambil menjawab pertanyaanya tanpa basa-basi.
“Kenapa bisnismu? Kayaknya serius banget nih?”, tanyanya sambil duduk dan memesan minuman yang terdapat di buku menu.
“Saya perlu investor baru Om. Pak Hardian sudah berhenti menyuntikkan dana karena kami sudah berbeda visi. Saya harus menyelamatkan nasib karyawan saya Om”.
Kuceritakan semua permasalahan yang kualami hingga aku berada di titik ini. Om Frans hanya menganggukan kepalanya, matanya menerawang dan mulutnya diam tanpa sepatah kata.
“Ray, usaha yang kamu rintis ini baru satu tahun loh. Seharusnya kalau kamu cermat, semua ini bisa kamu hindari. Agak sulit buat saya mencarikan investor baru, karena 1 tahun belum berarti apa-apa”.
“Saya bersedia mengubah model bisnisnya Om, apa saja yang penting ada yang mau beli saham kami”, pintaku dengan memelas.
“Sabar Ray, tidak semudah itu. Sambil ngobrol makan dulu lah, kamu baru minum lemon tea kan, pasti laper habis dari Bandung”, ajak Om Frans.
“Saya baru saja makan Om, minum saja cukup”, ujarku berbohong. Sejujurnya aku belum makan, uang yang kupegang saat ini sedang pas-pasan.
“Anak-anak sehat Ray? Terakhir kita ketemu dengan Hardian kamu cerita bahwa istrimu lagi hamil besar kan? udah gede dong anak ketigamu sekarang?”.
Aku terdiam mendengar pertanyaannya, cerita lama itu selalu saja mengusik pikiranku.
“Sudah Om, anak-anak sehat sepertinya”.
“Sepertinya? Gimana sih kok nebak-nebak? Kamu Long Distance Marriage ya sekarang?”.
“Anak-anak di Tangsel dengan ibunya, saya tinggal di Bandung soalnya”.
“Iya itu kan LDM namanya, jadi tiap minggu pulang ke Tangsel dong?”, tanya Om Frans yang masih belum memahami maksudku.
“Gak Om. Saya sudah berpisah dengan istri saya”.
Om Frans membelalakkan matanya begitu ia tau aku sudah berpisah. Berkali-kali ia kembali mengulang pertanyaan yang aku enggan untuk membahasnya.
“Gila kamu Ray. Pantesan aja muka kamu kusut kaya gini. Saya jadi paham sekarang masalah kamu dimana”, jawabnya sambil menggelengkan kepalanya.