06.30 WIB - Rumah Dion
Kuhirup kopi espresso yang baru saja tersaji di meja makan sembari membuka lembaran koran. Sementara Nadine masih sibuk menyiapkan bekal untuk sarapan Sean.
“Sean, here’s your lunch. Come on finish your breakfast before Mr. Adi arrive to pick you up”, ujar Nadine sambil membantu memasukkan bekal ke tas Sean.
“Okay Mom”.
“Did you finish your homework?”, tanyanya lagi.
“Yes I did, Mom”.
“Have you put inside your bag?”.
“Yes Mommy, everything is in my bag”, jawab Sean dengan kesal sambil melirik ke arahku. Aku hanya terkekeh mendengar celotehan Nadine, meskipun mengesalkan tapi dialah yang memberikan warna pada hidup kami.
Tin Tiiiin
Terdengar suara klakson mobil memanggil dari depan rumah. Benar saja itu adalah mobil jemputan sekolah yang hendak menjemput Sean.
“Hey Buddy, let’s go. Mr Adi is waiting for you “, ajakku sambil mengantar Sean ke teras rumah.
“Bye Mom…Bye Dad “, pamit Sean sambil mencium tangan kami. Dengan gesit ia berlari menuju mobil jemputan sekolah yang telah menunggunya, kuperhatikan hingga mobil itu melaju hingga hilang dari pandangan.
Tin….Tiiiin
Lagi-lagi terdengar suara klakson mobil yang baru saja parkir di depan rumah. Sebuah mobil sedan eropa merah yang tak asing bagiku, tak lama sosok pria jangkung berhidung mancung itu keluar sambil cengengesan ke arahku.
“Hey Bro, berdiri mulu kaya satpam “, guraunya saat melihatku masih berdiri di depan pintu.
“Ah elo, mobil mahal sarapan nebeng mulu. Malu-maluin aja Van “, balasku saat ia berjalan memasuki pekarangan.
“Yah maklum lah namanya juga bujangan, gak ada yang nyiapin gue sarapan”.
“Hahaha bagus lah lo temenin gue sarapan. Pagi-pagi Nadine tuh suka kumat bawelnya, ada aja yang dibahas gak abis-abis”, celetukku sambil mengajak Ivan masuk.
“Bawel juga lo cinta mati kan sama dia? Tar giliran dia ngamuk kaya kemaren lo belingsatan jadinya”. Seloroh Ivan sembari memelankan suaranya.
“Eh ada anak bujang, tau aja gue lagi bikin sarapan banyak. Sini Van duduk makan bareng”, sapa Nadine dari dapur.
Kami duduk di meja makan yang sudah tersaji nasi goreng, jus buah dan pudding sisa dari bekal Sean. Dengan cekatan tangan istriku menyiapkan piring untuk kami sarapan.
“Lo ga balik Bandung Van?” tanyaku pada Ivan.
“Kemaren kan gue di Bandung nyaris sebulan, sekarang balik lagi buat beresin kerjaan. Urusan lo sama si Ray gimana?”.
“Gue baru aja kasih kerjaan buat bayar utangnya. Baru dikerjain sebagian sih”.
“Gimana kerjaannya? Beres ga? Setelah insiden teror itu dia minta maaf ga sama lo?”, tanya Ivan pada kami berdua.
“Boro-boro lah, gue sih gak nanggepin teror receh macem gitu. Kerjaan dia mau gak mau harus beres, setiap proyek selalu gue CC ke email Bu Anita”, jawabku sambil menyuap nasi nasi goreng.
“Sukurin tuh si Ray, kalau dia wanprestasi Bu Nita akan proses secara hukum. Gak usah repot-repot lagi ngadepin dia”, ujar Nadine saking gemasnya.