Harta Tahta Renata

Ratih widiastuty
Chapter #69

Pembuktian (Cerita Rania)

08.00 WIB - Pengadilan Agama Tigaraksa

Kulihat kertas yang berisikan nomor antrian sidang di genggamanku, rupanya keberuntungan sedang ada di pihakku kali ini. Aku mendapat nomor pertama untuk segera masuk ruangan sidang 1. Di dalam tas sudah terdapat alat bukti yang sudah dicetak dan di-Nazegelen, yakni dilegalisir diatas materai 6000 rupiah sebagai bukti bahwa dokumen tersebut sudah berkekuatan hukum.

Kulirik ibuku yang sedang menggendong Kian, di sebelahnya Mbak Ida ikut duduk dengan wajah cemas. Aku sengaja mengajaknya untuk ikut bersaksi, setelah 3 tahun ia bekerja saat aku masih bersama Rayendra. Perasaanku terus diliputi gelisah, agenda hari ini benar-benar menyita tenaga dan emosiku. Selama 1 bulan aku mencari-cari pembuktian akan perselingkuhan Rayendra, mencoba mengingat kembali semua kejadian dengan seksama. Semua bukti percakapan di WhatsApp, foto-foto di sosial media hingga informasi yang kuterima, kuanggap sebagai petunjuk yang Allah bisikkan untukku. Kata-kata Dion selalu terngiang-ngiang di telinga, hingga akhirnya tadi malam aku berbicara pada seseorang yang kupilih untuk menjadi saksi ketiga hari ini.

Orang itu belum muncul juga, kulihat ponselku belum ada tanda-tanda ia tiba di pengadilan. Jantungku sudah berdebar keras, hari ini pihak Ray juga akan menyerahkan alat bukti beserta saksi-saksi. Hatiku terus bertanya-tanya siapa saksi yang akan ia bawa. Apakah keluarganya? Ibunya? Adiknya? Jika memang benar salah satu dari keluarganya datang, aku akan sangat kecewa. Bagaimana bisa mereka bersaksi untuk mendukung suatu perpisahan yang diakibatkan orang ketiga, sementara ada nasib ketiga darah daging mereka yang dikorbankan.

Mataku terus menyisir ruang tunggu pengadilan, mencoba mengamati siapa tahu ada orang yang kukenal. Namun sayangnya hari ini sangat penuh, tidak ada satupun orang yang kukenal pagi ini. Saking penuhnya aku berdiri di depan ruang sidang 1, mencoba melongok ke dalam apakah ruang sidang akan dibuka. Samar-samar kulihat panitera masih sibuk menyiapkan dokumen perkara, serta kursi hakim juga masih kosong belum terisi.

Jantungku berdegup semakin kencang, kulirik ponselku berkali-kali. Saksi ketigaku belum juga muncul. Aku semakin cemas, akankah ia datang bersaksi hari ini, karena bagiku ialah saksi kunci akan perselingkuhan antara Ray dan Renata. Kudekap erat tas yang berisikan serangkaian alat bukti, sambil mengucap dzikir aku berdoa semoga sidang hari ini lancar tanpa kendala.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Panggilan kepada No Perkara 2026 TGRS dengan Pemohon Rayendra Saputra melawan Termohon Rania Chairunnisa segera masuk ke ruangan sidang 1”.

Suara Panitera menggema ke-seantero ruang tunggu, akhirnya aku dipanggil untuk masuk ke ruang sidang. Aku memberi kode pada ibuku agar aku masuk terlebih dahulu, para saksi akan dipanggil jika majelis hakim meminta mereka untuk masuk. Ku langkahkan kaki ke ruangan sidang yang cukup besar itu, terlihat keempat majelis hakim sudah duduk rapi dengan jubah kebesarannya.

“Selamat Pagi Ibu Rania silakan duduk”, sapa seorang Hakim Ketua mempersilakanku duduk.

“Pagi Pak. Terima kasih”, jawabku.

“Pagi Pak David. Mana Pemohon? Masih berhalangan hadir juga nih sampai agenda pembuktian?”, tanyanya sambil melirik pada kuasa hukum Rayendra.

“Pagi Pak. Pak Ray berhalangan katanya, sedang sibuk dengan urusan kantor”, jawab kuasa hukum tersebut. Seorang Hakim Wanita nampak tersenyum simpul mendengar jawaban Pak David, kepalanya menggeleng sambil membuka berkas perkara.

“Baik, sidang hari Rabu tanggal 18 September 2019 resmi saya buka dengan agenda pembuktian dan pemanggilan saksi dari pihak Pemohon dan Termohon”.

Tok Tok Tok

Suara ketukan palu terdengar tanda sidang telah dimulai, tanganku mulai basah karena gugup bercampur gelisah.

“Pihak Pemohon, silakan maju ke depan untuk memberikan daftar bukti. Mohon diperlihatkan kepada Majelis dan pihak Termohon”, ujar Hakim Ketua.

Pak David berdiri sambil memberikan map yang berisikan dokumen di tangannya. Hakim Ketua membaca daftar bukti sambil mencocokan dengan alat bukti yang dibawa.

“Tolong sebutkan Pak, apa saja alat buktinya”, sahut Hakim Wanita.

“Alat bukti yang saya bawa ada dokumen berupa KTP, surat nikah, slip gaji, berikut akta lahir ketiga putri pemohon” ujarnya.

“Termohon, Ibu Rania Chairunnisa. Boleh di cek bersama-sama, apakah betul ini buku nikah, KTP, slip gaji beserta akta ketiga putri Ibu dan Pak Rayendra?”, tanya Hakim Ketua.

“Betul Pak Hakim”, jawabku lantang.

“Dokumen sudah di legalisir, maka sudah sah sebagai alat bukti ya”, ujarnya sambil memasukkan dokumen ke berkas perkara.

“Pihak Pemohon sudah membawa saksi?”, tanya hakim ketua.

“Sudah Pak, saya panggilkan sekarang?”, tanyanya.

“Ya, suruh saksi Pemohon memasuki ruangan sidang”, jawabnya.

Pak David berjalan keluar ruangan untuk memanggil saksi yang dimaksud. Dadaku berdebar kencang, siapa gerangan orang yang akan datang untuk bersaksi? Tak lama pintu kembali dibuka, nampak sesosok pria berjalan di belakang Pak David dengan langkah gontai.

“Ini saksi dari pihak Pak Ray, berikut fotokopi KTP-nya Pak”, ujar Pak David berjalan ke meja hakim sambil membawa fotokopi KTP saksi tersebut.

“Saudara siapa? Hubungannya apa dengan Pemohon?”, tanya Hakim Ketua.

“Nama saya Fadli, hubungan saya rekan kerja Pak”, jawab lelaki bertubuh kurus tersebut. mataku terus mengamati sosoknya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Baik silakan Saudara berdiri, ikuti lafal sumpah yang saya ucapkan”, sahut Hakim Wanita.

Lelaki itu berdiri di sampingku sambil bersiap-siap mengucapkan sumpah.

“WALLAHI (DEMI ALLAH)”

“SAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI YANG SEBENARNYA”

Lelaki itu mengucap sumpah mengikuti ucapan sang hakim dengan terbata-bata. Suaranya tercekat dan terlihat salah tingkah. Begitu selesai bersumpah ia duduk di kursi tepat di sampingku dengan gelisah.

“Saudara Fadli, seberapa dekat antara Saudara dan Permohon”, tanya Hakim Ketua menginterogasi.

“Kami rekan kerja dan cukup dekat Pak. Mas Ray sering curhat dengan saya “.

“Saudara tau permasalahan antara Pemohon dan Termohon?”, tanya seorang hakim pria.

“Katanya sih tidak ada kecocokan “, jawabnya.

“Selama berumah tangga bagaimana sikap Pemohon terhadap istrinya?”.

“Baik Pak, Mas Ray kerja keras demi keluarga, ngajak jalan-jalan, kasih perhatian”.

“Sekarang masih kasih perhatian? Masih menafkahi?”, tanya Hakim Wanita.

“Masih kasih nafkah katanya” jawabnya lelaki itu ragu-ragu.

“Oya? Masih kasih nafkah lahir? Batin?”, tanya Hakim Wanita tersebut.

“Iya, nafkah lahir batin Bu”, jawabnya dengan gugup.

Hakim Wanita itu tersenyum sambil melemparkan padangannya ke arahku, sementara aku menoleh pada lelaki itu sambil memberikan tatapan sinis.

“Sejak kapan Pemohon sudah tidak bersama dengan istrinya?”, tanya salah satu Hakim Pria.

“Sejak tahun lalu Pak”, jawabanya semakin asal.

“Oh begitu. Saudara tau mereka punya berapa anak?”, tanya Hakim tersebut.

“Ada 3 katanya Pak”, jawabnya.

“Coba sebutkan usia ketiga putrinya, kan Saudara teman akrab katanya”.

“Yang besar kelas 2 SD, yang tengah TK, yang kecil masih bayi Pak”.

“Itu anak yang ketiga kok bisa lahir? Katanya udah sering cekcok dan pisah rumah?”, jebak Hakim Ketua.

Lihat selengkapnya