08.00 WIB – Apartemen Renata
PING
From : dionisius.emmanuel@analogous.com
CC : anitalestarinotaris@gmail.com
Dear Ray,
Berikut terlampir penugasan Phase 2 untuk segera diselesaikan. Batas waktu penugasan selama 30 hari terhitung mulai hari ini, lewat batas waktu akan dikenakan penalty.
Regards,
Dion
Kubaca email yang baru saja kuterima, penugasan untuk membuat aplikasi untuk membayar hutangku padanya. Kepalaku sudah mau pecah setiap hari berkutat dengan proyek ini, padahal seharusnya aku bisa mencari proyek lain agar bisa membiayai kebutuhan rumah tanggaku.
Saat ini kebutuhan rumah tangga diatur oleh Renata. Dialah yang membayar apartemen dan kebutuhan bulanan kami. Meskipun dia sudah tak mendapat gaji dari RENTZ, dia masih sanggup untuk menafkahi kami, khususnya bagi Daffa dan ibunya. Aku tak heran dengan pendapatan yang ia punya, mungkin ia memiliki tabungan yang cukup agar bisa menafkahi kami semua. Namun entah mengapa firasatku tak enak begitu kemarin ia pulang malam dengan alasan meeting bertemu klien.
Diam-diam aku menyelidiki semua barang miliknya. Baju yang ia simpan di mesin cuci segera kuperiksa saat ia mandi tengah malam. Tercium aroma parfum khas pria di bajunya, yang jelas-jelas wanginya bukan parfum milikku. Handphone yang tergeletak di samping kasur juga telah kubuka, kucoba mencari tahu dengan siapa ia chatting tengah malam. Memang betul ia chat dengan sahabat geng saat ia SMA, namun tidak ada percakapan tentang RENTZ sama sekali. Ku-scroll lagi chat yang masuk ke ponselnya hingga aku menemukan sebuah kontak yang namanya tidak disimpan.
Percakapan tengah malam, tepatnya pukul 01.30 WIB. Waktu itu aku masih mengerjakan aplikasi milik Dion, sementara Renata sedang menonton televisi. Aku memang mendengar beberapa kali bunyi pesan masuk ke ponselnya.
Kubaca satu-persatu percakapan mereka, darahku langsung mendidih begitu tau lelaki ini bertemu dengan Renata kemarin malam, jadi dialah yang mentransfer uang untuk sewa apartemen yang kutinggali. Segera kulihat profil kontak tersebut, namun sayang tidak ada foto wajah yang terpampang, hanya sebuah foto bergambar laut yang dipajang di sana. Tidak ada nama yang tertulis di profilnya, hanya sebuah singkatan bertuliskan I.D, apakah ini sebuah inisial?
“Ivan !!!”
Seketika saja aku inget mantan Renata yang sempat berpacaran sebelum kami menjalin asmara. Renata sempat bercerita bahwa Ivan memang tak terima ia putuskan begitu saja, pasti lelaki ini yang mendekati Renata saat ini. Ivan adalah anak orang kaya, ayahnya mantan anggota dewan dan ibunya punya jabatan penting. Tak heran lagi, pasti lelaki ini yang mendekati istriku.
Saat ini aku masih menyimpan semua kecurigaan dalam hati, diam-diam aku menyadap nomor WhatsApp Renata di laptopku. Sehingga semua percakapan di kontaknya bisa aku monitor dari sini.
“Sayang, kamu udah bangun? Semalem tidur jam berapa sih? Kok udah bangun lagi”, sahut Renata yang baru saja terbangun dari tidurnya. Spontan ku sembunyikan homescreen Web WhatsApp-ku.
“Aku masih banyak kerjaan, sebentar lagi harus ke RENTZ beresin barang kantor sebelum serah terima kunci dengan Pak Hardian”, jawabku.
“Kamu beli makanan Mas? Kok ada kopi sama nasi uduk sih?”, tanyanya sambil melihat makanan yang kubeli.
“Iya, maaf ya cuma bisa beliin nasi uduk buat kamu”, jawabku.
“Aduh, padahal mau aku beliin sarapan loh. Nanti makan siang aku yang beliin ya Mas. Kamu mau makan apa? Mau makan di resto gak?”, tanyanya sambil memeluk badanku.
“Gak usah, simpan saja uangmu. Kita lagi banyak kebutuhan, tolong alokasikan untuk hal yang lebih penting”, jawabku sambil berusaha melepaskan diri dari pelukannya.
“Yah kok gitu sih, gak apa-apa lah sesekali aja kok. Aku juga udah kirim lamaran kerja, ada sebuah perusahaan media yang cari partner. Aku mau join disana, kamu mau aku masukin juga gak?”.
“Kamu aja dulu Ren, aku harus menyelesaikan perkerjaanku dulu. Tenang aja aku juga cari kerja kok”, jawabku sambil kembali berkutat di depan laptopku. Kulihat Renata sibuk menyantap nasi uduk yang kubeli, sambil sesekali membuka ponselnya. Kubuka kembali homescreen WhatsApp Web di laptop, ternyata ia sedang membalas pesan dari sahabatnya. Dengan hati-hati aku membaca setiap percakapan mereka, jangan sampai aku membaca pesan yang belum Renata buka.
12.30 WIB – Kantor RENTZ
“Mas Ray, barang punya RENTZ sudah saya angkut kemarin. Sisanya tinggal meja, kursi dan inventaris kantor lainnya. Kita tinggal di sini atau antar ke pusat nih?”, tanya Dimas.
“Simpan sini saja, Pak Hardian mau datang sebentar lagi. Biar karyawannya yang angkut semua inventaris kantor ini”, jawabku sambil mangangkut dokumen penting dalam kardus.
“Ada lagi yang bisa saya bantu Mas?”, tanya Fadli.