20.35 WIB – Vesper Sky Bar
“Fad, kamu yakin kita samperin masuk ke dalam?”, tanyaku begitu kami tiba di depan hotel yang berada di pusat kota Bandung.
“Iya Mas kita masuk aja, bar-nya ada di lantai atas”, ujar Fadli sambil mendongak ke arah gedung di hadapan kami. Terdengar sayup-sayup gemuruh musik EDM yang berasal dari bar di rooftop hotel ini.
“Kita harus cari reservasi atas nama Ivan atau Renata Fad”, sahutku sambil melangkah masuk ke dalam gedung.
Kami segera masuk ke dalam lift yang membawa kami ke rooftop, tempat di mana Renata dan Ivan biasa bertemu. Perasaanku sudah dag dig dug tak karuan, ingin segera kuhajar wajahnya jika aku mendapati mereka berdua. Akhirnya pintu lift terbuka di depan sebuah Bar yang penuh dengan sekumpulan anak muda. Gemuruh musik dari penampilan Disk jockey menambah riuh suasana, aku sampai kesulitan mencari sosok Renata di dalamnya.
“Malam Pak, sudah reservasi sebelumnya?”, sapa seorang petugas bar berdiri menyambut kami.
“Belum sih, saya mau cari klien saya. Ada reservasi atas nama Ivan?”, tanyaku.
“Baik saya cari sebentar ya. Boleh tau nama lengkapnya Pak?”, tanya petugas tersebut sambil mengetikkan jari di keyboard komputer.
“Saya lupa nama panjangnya. Tapi inisial nama terakhir huruf ‘D’ pastinya”.
“Atas nama Ivan ada 3 orang Pak, tapi nama belakangnya tidak ada yang dimulai dari huruf D”, jawab petugas tersebut.
“Boleh saya tahu nomor mejanya Mas? Biar di dalam saya pastikan satu persatu”, tanyaku.
“Maaf Bapak, ada sudah ada janji sebelumnya? Soalnya table mereka sudah penuh Pak”.
“Emmmmh belum sih, ini meeting dadakan aja”, jawabku dengan gelisah, seorang sekuriti berbadan besar mulai memperhatikan kami berdua.
“Mas, kita reserve 1 meja untuk dua orang. Atas nama Fadli ya”, serobot Fadli pada petugas bar tersebut. Ia mencolekku agar diam dan menuruti rencananya.
Akhirnya kami diantar oleh seorang waiter ke sebuah meja yang menghadap panorama Kota Bandung. Mataku menyisir ke seluruh penjuru, terlihat banyak sekali orang yang datang pada malam ini. Kepulan asap rokok, hiruk pikuk suara tawa pengunjung, serta waiter yang lalu-lalang menghalangi pandanganku. Fadli akhirnya memesan dua botol bir untuk kami, sembari melemparkan pandangan mencari sosok Renata di bar ini.
“Liat Renata gak Fad?”, tanyaku sambil menenggak bir di tanganku.
“Lagi nyari Mas, penuh banget di sini. Di area pojok sana gelap, saya ga bisa liat”, tunjuknya.
“Duh mana laptop abis batrenya, gue gak bisa buka WA mereka deh”, ujarku.
“Gak apa-apa Mas, kita cek aja satu-satu. Mungkin Mbak Rena belum sampai”, sahutnya.
Kami mengamati sekeliling bar yang tak terlalu besar. Riuh rendah dentuman musik berpadu selaras dengan lampu laser menambah semarak suasana. Sama halnya dengan jantungku yang berdegup kencang, rasanya sudah tak sabar untuk bertemu sosok Ivan yang sedang menggoda istriku.
“Fad, kamu coba muter ke area indoor. Siapa tau mereka ada di dalam”, perintahku pada Fadli agar masuk ke area dalam.
“Siap Mas, aku coba masuk ke dalam ya”, jawabnya sambil melangkahkan kaki ke non-smoking area.
Cukup lama Fadli berkeliling menyusuri setiap sudut ruangan, hingga akhirnya ia kembali ke meja sambil tergopoh-gopoh.
“Mas, kayaknya aku lihat Mbak Rena, dia pakai baju putih”, ujarnya.
“Sama siapa?”.