07.30 WIB – Rumah Rania
Kuperhatikan Kian yang sedang duduk di teras rumah sembari memanggil kucing liar. Tangannya melambai-lambai pada siapa saja yang lewat, tawa renyahnya selalu membuat siapapun menoleh dan menggodanya. Usianya nyaris 10 bulan sekarang, ia sudah belajar merambat dan mulutnya tak berhenti mengoceh setiap hari.
Bip Bip Bip Bip Bip Bip Bip
Ivan Calling
“Halo. Pagi Rania”, sapanya dengan hangat.
“Hey. Pagi Van”, jawabku.
“Lagi sibuk?”, tanyanya.
“Enggak kok. Lagi merhatiin Kian di teras depan”.
“Lagi apa dia? Udah bisa jalan ya?”, tanyanya.
“Lagi belajar jalan, masih harus dipegang tangannya”, jawabku.
“Kakaknya pada ngapain?”, tanyanya lagi. Belum sempat kujawab terdengar suara motor yang tiba di teras rumahku.
“Misiiiii….mau ambil paket Bu”, ujar driver Ojol sambil melongok ke arah rumah.
“Bentar ya Van, ada ojek mau ambil Brownies”, sahutku sambil meletakkan ponsel di atas meja. Kuraih kotak Brownies pesanan pelanggan lalu kuberikan pada driver tersebut.
“Halo Ivan, sorry ada ojek barusan. Gimana tadi?”, tanyaku balik pada Ivan yang menunggu di sambungan teleponnya.
“Gak apa-apa, cuma nanya hari Sabtu pada ngapain?”, tanyanya.
“Oh gue mau ketemu Mas Dipta”, jawabku sambil melirik ke arah jam dinding.
“Siapa Mas Dipta?”, tanyanya.
“Psikolog. Dia dampingin gue untuk ngobatin traumatis anak-anak”, jawabku.
“Prakteknya di mana?”, tanyanya lagi.
“Di Cilandak Van “, jawabku.
“Deket rumah Tante gue dong. Lo sama siapa kesana? Naek apa?”.
“Hari ini mau sama anak-anak. Kalau sendiri naek ojek kalau bawa anak-anak naik taksi online”.
“Pendampingannya ngapain aja? Punya sertifikasi gak? Punya ijin praktek gak?”.
Belum sempat kujawab sederet pertanyaanya, Kica datang menghampiri sambil menarik tanganku.
“Mamaaaa, jam berapa ke rumah Om Dipta? Katanya aku mau diajarin gambar Little Pony”, rengeknya manja.
“Iya bentar Nak, Mama lagi terima telepon dulu. Kamu mandi dulu gih”, jawabku sambil menyuruh mereka mandi.
“Horeeee, kita mau ke rumah Om Dipta. Kakaaaaak kita mau belajar gambar kan hari ini?”, teriak Kica pada kakaknya. Aku hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anak-anak, lalu kembali lagi menyapa Ivan yang sedari tadi menunggu di sebrang sana.
“Ivan sorry. Anak-anak udah heboh ngajak pergi. Gimana tadi Van? Nanya apa ya?”, tanyaku sambil mengingat-ingat pertanyaan Ivan.
“Gak apa-apa kok. Udah kebayang lo pasti sibuk ngurus anak sambil jualan. Gue kagum sama lo Ran”, ujarnya.
“Loooh, kagum apaan sih. Semua ibu-ibu ya begini, Nadine juga sama sibuknya ngurus Sean”, jawabku sambil salah tingkah.
“By the way, psikolog yang tadi namanya siapa? Kalau di Cilandak sih pastinya gue sering lewat situ”, ujarnya.
“Pradipta Erlangga. Dia pemilik Yayasan Rumah Damai, kebetulan dia suka kasih pendampingan cuma-cuma untuk kasus tertentu. Gue juga kaget pas terpilih”, jawabku.
“Mudah-mudahan bisa buat kalian lebih baik. Kalau lo perlu sesuatu jangan sungkan minta tolong sama gue”.
“Makasih ya udah jadi support system buat gue dan anak-anak”.
“Sama-sama Ran. Oya tolong kirim foto Kian dong, lagi apa dia sekarang?”.
“Lagi main sendiri sambil nyari kucing kayaknya. Nanti gue kirim fotonya ya”, jawabku.
“Oke take care Ran. Bye”, tutupnya mengakhiri pembicaraan. Sebelum aku bergegas ke kamar mandi, kufoto Kian yang sedang duduk di teras sendirian.
Message sent.
10.00 WIB – Rumah Damai
Taksi online yang kutumpangi berhenti di parkiran Rumah Damai yang asri, namun tumben hari ini suasana terlihat berbeda. Banyak anak-anak dengan beragam usia sedang main di teras rumah. Kami bertiga masuk ke dalam dan menyapa Tiwi yang sedang duduk di belakang mejanya.