11.00 WIB – Apartemen Renata
“APA? GUGATAN DITOLAK???”, jerit Ray saat menerima panggilan dari Pak Saragih siang ini.
“Kok bisa putusannya ditolak? Saya kan sudah bayar Bapak”, jeritnya sambil mondar-mandir di balkon apartemen.
Aku menguping Ray yang sedang berbicara dengan Pak Saragih, kaget bukan kepalang mendengar berita yang lawyer itu sampaikan. Sia-sia saja Ray menyewa pengacara, gugatan malah ditolak begitu saja. Itu artinya Rania dan Ray masih sah menjadi suami-istri secara negara. Aku berusaha mendinginkan kepalaku agar tidak terpancing emosi. Saat ini aku harus membuat siasat agar tidak terseret dengan masalah yang Ray hadapi.
BRAKKK
Terdengar suara benda dibanting dengan kerasnya, ternyata Ray melempar ponselnya ke atas meja. Wajahnya merah padam karena amarah, garis mulutnya menegang dan tangannya terkepal.
“Banding aja Mas, suruh Pak Saragih untuk ngurus besok”, jawabku sambil memberikan secangkir teh untuknya.
“Gak bisa. Aku udah gak bisa bayar pengacara. Banding juga perlu biaya”.
“Kamu kan masih banyak proyek Mas, masa buat banding aja gak bisa sih?”.
“Kebutuhanku masih banyak Ren, untuk bayar apartemen kita aja aku udah sulit. Kamu masih nekat aja sewa di sini”.
“Loh, sewa apartemen aku yang bayar loh. Suka-suka aku dong kalau gitu”, jawabku sengit.
“Dapat duit dari siapa? Semenjak kita keluar dari RENTZ kita udah gak dapet gaji sama sekali”.
Nafasku memburu saat Ray mulai menuduhku menerima uang dari seseorang, kurasa ia telah mengira aku berselingkuh.
“Kamu ngira aku selingkuh?”.
“Jawab dulu pertanyaan aku. Darimana kamu dapat uang untuk biaya kebutuhan kita?”.
“Aku cari kerjaan. Bukannya berterima kasih malah nuduh macem-macem”.
“Kamu harusnya minta ijin sama aku Ren, aku ini suami kamu. Mau pergi kemana, kerja di mana, ketemu siapa, semuanya harus seijin aku mulai detik ini!”.
“Hey, aku ini wanita mandiri Mas. Aku paling gak suka kalau diatur-atur. Kalau kamu gak suka dengan gayaku, silakan kembali sama istri kamu, toh gugatannya ditolak kan”.
BRAKKKKK
Ray menggebrak meja hingga retak. Cangkir teh yang kusajikan pecah berkeping-keping. Tangannya terkepal dan napasnya memburu sambil menatap tajam ke arahku.
“Mau kamu apa sekarang? Sekarang aku udah susah Ren, uangku di rekening sudah nyaris kosong. Apa kamu masih mau terima aku sebagai suami kamu?”, tanyanya sambil menatap mataku.
Aku terdiam tak bisa berkata-kata. Kejadian ini bukan yang pertama kali kualami, mantan suamiku sebelumnya juga pernah mengatakan hal yang sama sebelum aku tinggalkan mereka. Lalu kini semua terulang lagi, dadaku kini rasanya sesak. Salah apa aku harus kembali berurusan dengan lelaki seperti ini.
“Tanya sama diri kamu sendiri. Kalau kamu serius sama aku, benahi dulu hidupmu”, jawabku sambil membuka lemari baju. Kuambil koper dan kumasukkan beberapa helai pakaian ke dalamnya.
“Mau kemana kamu?”.
“Mau ke rumah Ibu”.
“Gak bisa. Selesaikan dulu masalah kita sampai tuntas, baru kamu bisa keluar”.
“Masalah kamu Mas, bukan kita. Masalah sama Rania saja belum selesai, aku sudah cukup sabar selama ini. Makin hari bukannya kebahagiaan yang kita dapat, malah masalah datang bertubi-tubi” jeritku menahan tangis.
“Tapi kan bukan salahku Ren, kamu tau itu kan. Semua ini gara-gara Rania, Dion, dan semua orang di belakang mereka. Aku juga korban Ren”, elaknya.
“Terserah lah Mas. Aku gak peduli lagi. Aku sudah muak dengan pertikaian kalian”, jawabku sambil menggeret koper, tak lupa kumasukan ponsel ke dalam tasku.
“Jangan cari aku, aku mau menenangkan diri”, ujarku sambil berlalu meninggalkan Ray dengan semua amarahnya.
Kubuka ponsel sambil mengetik sebuah pesan pada seseorang. Begitu pesan terkirim segera saja aku memesan taksi online, begitu kakiku tiba di lobby apartemen, taksi tersebut sudah menunggu di parkiran.
“Siang Bu, ke Hotel Radisson ya”, sapa driver tersebut.
“Iya Pak”.