07.30 WIB – Rumah Rania
Bip Bip Bip Bip Bip Bip Bip
Astagfirullah……
Aku terbangun dengan nafas terengah-engah, tubuhku basah karena keringat. Dadaku berdegup sangat kencang hingga tangan ini gemetaran. Kutepuk-tepuk wajahku, sakit terasa. Ya Allah apa benar aku bermimpi? Kusapu pandangan ke sekeliling, tidak ada siapa-siapa di kamar ini. Aku bergegas turun dari kasur, lututku masih lemas dan dadaku berdebar keras.
“Rania….Raniaaaaa”.
“Kila….Kicaaaaaaaa”.
Aku berlari menuruni tangga dan mencari-cari sosok yang kukenal di rumah ini. Suaraku sampai tercekat memanggil mereka namun tidak ada jawaban sama sekali. Kutengok dapur tempat dimana Rania memasak, tidak ada siapa-siapa. Dapur itu masih bersih dan rapi.
“Raniaaa….”
Apa benar Rania, Kila dan Kica ada di rumah ini? Di mana mereka?
“Pap, ngapain sih celingak-celinguk kaya anak ilang”.
Sesosok wanita berhijab memanggilku sambil menenteng tas plastik di tangannya. Wajah manisnya menatapku sambil keheranan.
“Raniaaaaaaa!!!”.
Kupeluk wanita itu seerat mungkin, kuciumi kepalanya tanpa henti sampai ia berteriak karena geli.
“Apaan sih Pap. Kamu nih malah bangun siang. Orang udah lari pagi tuh”, ujarnya sambil berlalu ke dapurnya.
“Rania, ini bener kamu kan? “, tanyaku tak percaya sambil meraba badannya. Perutnya terlihat masih buncit. Rania masih hamil.
“Aduuuh, hati-hati dong Pap, kasian dede di perut. Istri hamil malah diguncang-guncang dari tadi”.
“Astagfirullah Ran, aku mimpi buruk Ran. Semuanya kaya nyata banget. Aku sampe gemetar ini”, ujarku sambil memperlihatkan tanganku yang masih basah dan bergetar.
“Makanya, sebelum tidur tuh baca doa dulu. Begadang mulu sih”, jawabnya sambil membuka kulkas.
“Rania, kamu masih hamil? Anak kita belum lahir?”.
“Menurut kamu gimana? Anaknya masih 5 bulan di perut mau lahir gimana”, senyumnya meledekku.
“Aku kerja dimana Ran? Aku kerja di Bandung gak sih?”.
“Kamu nih tidur semalem aja kaya amnesia setahun. Kamu masih kerja sama Dion lah”, jawabnya.
“Aku gak kerja di Bandung Ran? Beneran?”.
“Mana aku tahu, kamu ngerasa kerja di Bandung gak? Udah ah aku mau lanjut belanja ke Pasar Modern, tadi di tukang sayur gak lengkap”, ujarnya.
“Kila sama Kica mana Ran? Aku kangen banget sama mereka”.
“Lagi sama Mama ke warung. Kamu nih kenapa sih aneh banget Pap”, tanyanya keheranan.
Tiba-tiba terdengar suara tawa renyah Kica dari teras depan, mereka masuk meloncat-loncat kegirangan.
“Kicaaaaaaa…….Kilaaaaaa….Papa kangen sama kalian Naaaak”.
Kugabruk tubuh mereka dengan kencang. Kuciumi mereka berdua hingga mereka tertawa terbahak-bahak.
“Hahahahahaha…. Papa geliiiiii, kamu kok bangun siang sih Pap. Gak solat subuh yaaaa”, ledek Kila padaku.
“Maafin Papa ya, Papa janji gak tinggalin kalian. Kalian sayang Papa kan Nak”, ujarku sambil memeluk tubuh mereka erat-erat.
“Kenapa kamu Ray, kaya orang abis darimana aja “, sahut ibu mertuaku.
“Ma. Maafin Ray ya. Kalian darimana?”, ujarku sambil meraih tangannya.
“Abis dari warung, Rania nih lupa belanja bulanan sampe gula aja abis”, sahutnya.
“Iya, Rania mau ke pasar sekarang. Kila sama kica di rumah sama Nenek ya, Mama cuma sebentar kok”, ujarnya sambil merogoh tas.
“Mau kemana? Aku ikut ya, kamu gak boleh pergi sendirian”.
“Ya udah deh cepetan cuci muka dulu. Aku harus masak buat makan siang”, sahutnya.
Dengan segera aku berlari ke kamar untuk mencuci muka dan ganti baju. Badanku masih lemas dan bayangan orang-orang di mimpiku serasa nyata. Renata, apakah ia nyata?.
08.00 WIB – Pasar Modern BSD
“Oh, jadi kamu ceritanya mimpi kerja di Bandung terus kenal sama perempuan namanya Renata gitu?”.
“Iya Ran. Jangan marah ya, namanya juga mimpi. Aku aja bingung kok mimpinya bisa sampai parah banget. Masa aku ninggalin kalian”, jawabku sambil mengunyah lontong medan kesukaan kami.
“Aslinya ada gak nih yang namanya Renata? Jangan-jangan kamu memang punya selingkuhan”, selidiknya.
“Gak ada Ran, beneran. Nih cek ponselku aja, baca semua chat WA sampai emailku”, ujarku sambil menyodorkan ponselku.
“Iyaaa, percaya kok. Aku kan gak suka buka-buka ponsel kamu Pap. Kamu tuh family man di mataku. Sayang sama Ibu kamu, sama Mama, sama anak-anak, rasanya gak percaya kalau bisa nyakitin perempuan”, ujarnya.
“Ran, aku mau jujur sama kamu boleh enggak?. Aku mau kita evaluasi lagi tentang hubungan kita, apa saja yang kurang dari aku sebagai suami kamu?”.
“Harus jujur banget nih? Di sini banget ngobrolnya?”, tanyanya.
“Iya aku pengen punya quality time sama kamu”, jawabku sambil menggenggam jemarinya.
“Hmmm, aku pengen kamu gak terlalu sibuk sama kerjaan. Aku tahu kalau kamu cari project agar kita bisa makan, tapi aku butuh sosok kamu untuk jadi temen berbagi dan saling mendengarkan”.
“Aku pengen kamu bisa sholat tepat waktu, kalau kamu sibuk kerja kadang suka lupa. Aku juga jadi ikut-ikutan bolong-bolong deh”, jawabnya.
“Iya, aku sadar itu Ran. Maaf ya gak bisa jadi imam yang baik buat kalian”, sesalku.