08.00 WIB – TPU Bogor
Rintik hujan mengiringi proses pemakaman Rayendra menuju pembaringan terakhirnya. Empat orang petugas TPU bekerja keras menggali liang lahat sebelum hujan bertambah deras, sejumlah pria saling bahu membahu memasang papan sebagai penahan tanah timbunan saat jenazah dimasukkan. Mas Doni, Dirga dan Raditya ikut turun ke liang lahat untuk mengantarkan saudara mereka menuju tempat peristirahatannya. Terdengar isak tangis dan jerit pilu sang ibunda yang memanggil-manggil anak kesayangan, ia masih tak percaya anak keduanya telah berpulang untuk selama-lamanya. Lantunan ayat suci menggema ke seantero pemakanan mengiringi hingga jenazah terkubur tanah.
Rayendra Saputra, seorang ayah dari tiga orang putri yang belum sempat ia jumpai. Seorang suami dari istri yang belum resmi ia ceraikan, sekaligus seorang suami dari istri siri yang belum ia nikahi secara resmi. Lelaki yang penuh ide dan ambisi, dibalik jiwa optimisnya, terdapat perasaan yang lemah akan wanita. Ia mudah untuk mencintai, ia akan menyayangi dengan sepenuh hati saat cintanya sudah terpaut. Tak peduli benar atau salah, karena baginya cinta hanyalah intuisi. Ia berpulang meninggalkan berjuta penyesalan, sesal belum membahagiakan ibundanya, sesal belum memeluk buah hatinya, sesal belum menikmati masa bahagia dengan pujaannya, dan penyesalan yang terbesar adalah kata maaf yang tidak pernah terucap. Mulutnya terus membisu hingga ucapan maaf itu telah ia bawa ke liang lahat.
Air mata Renata terus mengalir deras, sama seperti mimpi dan harapannya yang ikut terkubur atas kepergian Rayendra. Di matanya, Ray adalah sesosok lelaki kharismatik yang datang membawa cinta, menyirami dengan sejuta pujian, serta membelai dengan harta dan jabatan. Sosok yang ia andalkan untuk menjadi ayah bagi anaknya, dan menjadikan sandaran di masa tuanya.
Di sudut lain, terdapat seorang wanita yang masih berdiri terhuyung karena lemas, tubuhnya yang limbung tengah dipeluk oleh Nadine. Rania menangis tersedu-sedu sambil membaca ayat suci selama penguburan. Hatinya teriris mendengar jerit tangis Kila dan Kica yang terus memanggil Papanya. Hatinya hancur, namun bukan karena ditinggalkan. Bagi Rania, Ray sudah lama hilang dari relung hatinya. Sudah sekian lama ia mengiklaskan lelaki itu untuk bersama Renata, ia jauh merasa bersyukur bahwa Allah sudah menyelamatkan mereka.
Namun ketegarannya kini terusik, pertahanan dirinya runtuh ketika melihat anak-anaknya menangis saat jenazah sang ayah terkubur tanah. Tidak akan ada lagi pelukan hangat, genggaman erat, atau tingkah konyol yang membuat mereka terbahak-bahak. Rayendra hanya tinggal kenangan, mungkin beberapa tahun lagi mereka sudah lupa akan wajahnya, suaranya dan segala ceritanya. Apalagi bagi Kiana, bayi yang sudah Ray tinggalkan saat ia baru saja dilahirkan.
Dion menatap pusara dengan tatapan sendu. Air mata terus menetes di balik kacamata hitamnya, hatinya terpukul begitu tahu rekan kerjanya telah berpulang. Meski hubungan mereka sedang tak baik, tapi ia sangat merasa kehilangan. Di lubuk hatinya, Rayendra akan selalu menjadi sahabat yang menemani proses jatuh bangun perjalanan karirnya.
Di sudut lain, seorang pria paruh baya berdiri sambil dipayungi supir pribadinya. Hardian masih tak percaya saat Rayendra berpulang saat ia tiba di RS kemarin. Hardian-lah yang mengurusi semua biaya administrasi Rumah Sakit hingga proses pemakaman. Dalam hatinya tersimpan rasa sesal, ketika ia telah memutuskan kerjasamanya dengan Rayendra. Meskipun Ray telah gagal membangun bisnis, namun lelaki itu sudah ia anggap seperti anak sendiri. Jiwa optimis dan potensi yang dimiliki Rayendra selalu membuatnya kagum.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh”
“Saya Raditya, adik dari Rayendra meminta maaf sedalam-dalamnya atas kesalahan yang kakak saya buat. Terima kasih atas doanya, semoga almarhum diterima di sisi Allah SWT dan kami semua diberikan ketabahan”
“Apabila selama hidup Rayendra memiliki hutang yang belum dilunasi, silakan menghubungi pihak keluarga agar almarhum bisa beristirahat dengan tenang”.
Susana hening begitu Raditya meminta maaf pada peziarah yang datang. Seorang wanita yang sedari tadi berdiri di samping Dion beranjak dari tempatnya, disusul seorang pria yang berjalan di belakangnya. Wanita itu membawa map merah yang sedari tadi ia genggam erat, langkah mereka terhenti persis di depan Ibunda Rayendra yang tengah dipeluk Renata.
“Permisi, saya Anita Lestari, dan ini kawan saya Pengacara Edgar Nasution. Kami kuasa hukum dari Bapak Dionisius & Yanuardi Hermawan hendak menyampaikan sesuatu”, ujar wanita tersebut.
“I-iya ada apa ya Bu?”, jawab wanita paruh baya tersebut.