Tepat pertengahan Catur Wulan kedua di tahun 1999 adalah waktu aku duduk di kelas 2 SMA. Sabtu yang indah bagi kami selaku siswa putih abu-abu pada hari itu.
Sekolah kami tampak sibuk hari itu, para murid ditemani orangtua mereka sudah banyak yang hadir di sana. Para orangtua yang bangga karena anaknya selalu dapat peringkat baik, riuh para ibu yang saling bertukar kabar soal anak mereka, dan beberapa anak yang sepertinya enggan menempel dengan orangtuanya, mungkin mereka khawatir langsung diomeli jika nilai mereka jelek.
Aku dan dua sahabatku sendiri memilih untuk menunggu di dekat kelas sambil memperhatikan lalu-lalang dan kemeriahan acara bagi rapot hari ini. Suno asyik dengan dunianya, mengomentari para murid perempuan yang memang terkenal cantik di angkatan kami. Sementara Hendro hanya ikut-ikut nyengir atau menanggapi Suno.
Di tengah keasyikan mereka menunggu hasil rapot, akhirnya aku mencetuskan sebuah ide yang sudah lama ada di pikiranku.
“Rek, nek aku paling apik biji rapote koen kabeh kudu melu aku nang Semeru1,” ajakku kepada kedua sahabat karibku.
Muka ganteng Suno mendadak culun karena bengong, sementara Hendro seperti siap memaki. Kurasa mereka was-was karena setiap kali aku mengeluarkan ide pasti tidak akan jauh dari hal gila. Tapi menurutku mereka saja yang kecil hati dan menganggap semua ajakanku pasti gila.
“Wah!! Iki gak iso ngono le, yo pasti koen seng paling apik nilaine2,” jawab kedua temanku bersamaan.
Aku tertawa melihat reaksi mereka. “Belum tentu. Kemarin kan ada nilai kalian yang lebih bagus juga. Aku pas lagi apes.”
Suno dan Hendro masih sangsi.
“Yang santai-santai saja, mending main di rumahmu aja.” Suno yang terkenal malas bergerak banyak itu memberi ide.
“Semeru-nya, nggak masalah. Tapi, kamu itu suka ada yang aneh-aneh. Ngomong yang jelas dulu.” Hendro menuntut.