Kami janjian Minggu dini hari pukul 03.00.
Sekitar sepuluh menit sebelum waktu janjian berangkat, aku dan dua sahabatku sudah siap di tempat penjemputan. Kami menanti mobil yang akan mengantar kami ke Tawon Songo. Rencananya kami berangkat menggunakan jasa mobil pick up yang menurut info dari kenalanku akan lewat di jalan tempat kami menunggu setiap pukul 3 dini hari.
Suno tampak masih menguap berkali-kali. Carrier besar yang digendong seperti bantalan saat dia bersandar di salah satu pohon dekat tempat kami menunggu. Sepertinya dia berusaha memanfaatkan setiap waktu untuk tidur. Hendro dan aku berdiri di tepi jalan, agar mobil yang nanti menjemput tidak melewatkan kami.
Untuk persiapan berangkat kali ini, aku kemarin beralasan akan liburan ke Bali kepada ibuku. Ibuku sempat mengomel saat aku minta sangu untuk perjalanan ini. Maklum ibuku ini tipe super irit yang tidak suka pengeluaran dadakan seperti ini. Tapi namanya ibu, selalu kalah sama rengekan anaknya. Apalagi kalau yang merengek remaja seperti aku. Bisa bikin malu sama tetangga kalau diteruskan. Maklum, aku cowok tapi modelnya kayak cewek kalau minta uang sama ibuku waktu itu.
Begitu uang saku sudah di tangan, aku langsung menyelundupkan alat-alat campingku. Tepat ba’da maghrib, sewaktu ayah ibuku berjamaah di mushalla samping rumah aku bawa tas murah model kunoku beserta isinya ke rumah Suno.
Tak perlu lama menunggu, ”jemputan” kami sudah datang. Kami segera naik ke bagian belakang mobil bersama penumpang lainnya.
Mobil pick up yang memiliki rute jurusan Tempeh ke Pasrujambe itu menampung beberapa pedagang dari kota. Salah satunya Lik Slamet. Pria berusia sekitar lima puluh tahun ini merupakan pencari ijuk aren dan kembang ijuk, bahan baku sapu yang biasanya dipakai di rumah-rumah. Wajah sepuhnya dibingkai rambut yang sedikit gondrong, tidak sampai sebahu. Dia juga tampak membawa celurit dan tali yang terbuat dari rotan. Sebuah kantong kecil tampak terselempang di tubuhnya. Sepertinya itu perlengkapan untuk mencari kembang ijuk di hutan.
Suno menebar senyumnya kepada pria paruh baya yang duduk tepat di hadapannya itu.
“Kate nang endi rek, kok mbrengsong tas gede-gede ngono iku?1” tanya lik Slamet.