Perjalanan kami terus berlanjut dengan mengandalkan kompas, peta buatan Lik Slamet, jaket, dan sedikit makanan minuman yang kami beli di Pasar Tempeh waktu kami akan berangkat tadi pagi.
Aku terus mengeluarkan seluruh tenagaku, berjalan menapaki jalur pendakian. Sesekali menengok ke belakang, memastikan teman-temanku itu masih mengikuti. Sepatu merk Kodaci andalan Suno sudah berubah warna dari putih ke cokelat-kemerahan akibat tanah becek di sepanjang trek yang kami lewati. Bahkan, jaket merk Konica-ku juga agak basah karena udara yang lembap di hutan itu. Hendro yang di awal terus mengeluarkan kalimat- kalimat cacian andalannya kini sudah tak bersuara.
Kami lalui jalan terjal yang tidak sedikit putus akibat banjir atau longsoran kecil itu, sampai kami tiba tepat pada titik batu besar yang sudah diprediksikan oleh peta Lik Slamet.
Di sinilah mulai terjadi hal yang agak ganjil.
“Koen opo gak kroso aneh, Le? Kok rasane aku koyok ono sing ngetutno1,” tanya Suno yang agak takut.
“Koyok’e aku enak ae kok, No, mosok awan ngene koen wes meden-medeni,2” gerutuku pada Suno. “Itu lho Hendro yang di belakangmu.”
Dari tadi sebenarnya aku sudah merasa kurang enak, sebab si Hendro terlalu tenang, diam seribu bahasa. Tapi pikirku, mungkin anak itu hanya lelah.
Kicau Sirpuh mengiringi jalan kami, burung Totou juga terasa mengintai gerak langkah kami. Parang Suno pun tidak pernah diam menebas ilalang demi mendapatkan sepetak lokasi guna tempat kami mendirikan tenda nantinya.
“Iki sakjane jam piro, sih? Kok koyo wes dalu,3” seru Suno kepada kami.