"Kita hidup di bawah langit Serambi Mekkah, Bang. Tidak baik bilang rindu kalau belum menikahiku!"
"Maaf. Sekali lagi maafkan abang ya, Dek."
***
Tidak dapat ia pejamkan matanya. Miring ke kiri salah, miring ke kanan malah makin gelisah. Dia pun bangun dari rebahan, pergi ke dapur memanaskan air kemudian mengaduk Kopi Gayo yang kemarin sore baru dibawa oleh temannya sehabis pulang dari Takengon. Jam telah menunjukkan pukul satu pagi. Semua pintu rumah desa Salim Pinim sudah dikunci. Lima anak lajang di kedai Buk Leni masih bergadang.
Salah seorang dari mereka hebat sekali memainkan gitar, empat orang lainnya bernyanyi mengikuti petikan gitaris. Dia pun keluar dari rumahnya membawa segelas kopi dan duduk bersama. Ketika ia datang tibalah di lirik lagu,
"Malang sungguh nasibku malang, kisah cinteku petep ni tengah dalan. Mekhugah ateku nggo mekhugah, kau si kucinte sendah nggo mekhobah." Pangadilen Cinte, judul lagi itu. Dia pun ikut bernyanyi, malah ketika lagu itu selesai ia minta pada mereka untuk mengulanginya.
"Kenapa kau coy? Baru putus rupanya kau terus kau suruh kami ulangi."
"Susah aku bilangnya sama kelen coy."
"Kenapa gitu? Cak lu ceritakan kek mana, biar kita mainkan lagi ni lagunya. Khusus untuk kau terus ni malam ni."
"Udah lah, lanjut aja dulu."
"Kek mananya kau ni? Cerita lah, kalau nggak mau ya udah kita ganti lagu berikutnya."
Ditatapnya teman-temannya, susah ia memulainya untuk bercerita, tetapi ia ingin sekali mendengarkan lagu itu sekali lagi saja. Sangat cocok di hatinya di tengah malam seperti ini. Meskipun lagu itu tidak cocok dengan yang dia alami kemarin. Akhirnya dengan terpaksa ia pun menceritakan kejadian yang ia alami kemarin sore di depan Masjid Agung At-Taqwa.
"Kemarin sore aku ke masjid Agung untuk salat Asar. Setelah salat aku duduk di teras masjid. Niatku setelah magrib barulah balik ke rumah. Tiba-tiba ada kulihat cewek,"
"Udah gitu aja? Terus ada apa kau bangun malam kek gini?"
"Belum lagi selesai udah dipotong."
"Berenti kulihat kau tadi,"
"Yah namanya juga tarik napas."
"Oo gitu kin, lanjutkanlah te."
"Lupa pun aku udah sampai mana tadi?"
"Sampai kau lihat cewek."
"Nah, aku lihat cewek dua orang. Motor mereka enggak bisa jalan karena businya mati. Kau tahu lah aku ni sarjana mesin, urusan busi gampang lah, aku kan bekerja di bengkel abangku,"
"Usah kau sebutkan itu, kami udah lama tau itu. To the point aja lah."
"Karena aku kasihan lihat orang itu ya aku tolong lah. Berontak batinku sebagai sarjana mesin melihat kejadian kek gitu. Segera aku balik ke bengkel dan membawa busi. Setelah kutolong mereka memberikan upah, aku tidak mau. Tapi tetap mereka berikan, kemudian segera aku berikan lagi ke anaknya,'Nggak usah dek, bilang ke mamaknya abang ikhlas,'' kubilang.
"Dia bukan mamakku, Bang. Dia temanku." jawabnya. Tiba-tiba hatiku berdesir mendengarnya, sepertinya aku pun mulai jatuh cinta padanya, nada bicaranya lembut, merdu saat dia berkata terima kasih tadinya, dia cantik euy." ceritanya panjang lebar pada teman-temannya.
"Cak dulu ceritakan lebih detail rupanya coy, ah kau ni bikin aku penasaran aja." salah seorang vokalis malam itu memaksanya bercerita.
"Hum, kek gini, jilbabnya warna pink, dia pakai gamis seperti ukhti-ukhti selebgram, terus penutup wajahnya warna biru. Apa ya istilahnya itu? Aku lupa pula. Cacar? Eh Cabar? Carar? Cagar? Apa ya coy, betulku pun aku lupa."
"Astaga, cadar coy cadar."
"Ha itulah maksudku."
"Tunggu dulu, kalau dia pakai cadar, kek mana pula kau tau dia cantik?"
"Ya tau lah, dia nada bicaranya lembut, suaranya saat bilang 'terima kasih' merdu kali. Terus hatiku berdesir, berarti dia cantik lah tu. Soalnya selama ini kalau hatiku berdesir, tentulah ia cantik."
"Jangan dulu segera menyimpulkan, nanti boneng pula."
"Astaghfirullah, jangan sekali-kali bilang kek gitu sama perempuan bercadar. Aku tidak suka berburuk sangkamu itu."