Jam telah menunjukkan pukul satu lewat dua puluh menit. Harun terbangun, ia belum salat isya. Kemarin setelah diobati ibunya ia langsung tidur karena rasa sakitnya.
Sekarang telah berkurang rasa sakit di bibir dan wajahnya. Anak lajang desa Salim Pinim masih ada yang bergadang. Mereka memetik gitar dan bernyanyi.
Harun mengikuti lirik lagu itu dari teras rumahnya,
"Tekhsiskse khasene batinku Kau niadati kedue khangtuemu, kakhenne tekhpakse. Sedangken aku mekhase mele. Enggo jelas pelin aku nanggung dekhite, pakse kutekhime."
Tiba-tiba Harun teringat dengan kartu rumah makan itu. Segera ia meraba-raba kantong celananya, tidak ia temukan. Dicarinya di saku baju kokonya juga tidak ada. Apa mungkin terjatuh di jembatan Pante Dona tadi? Pikirnya. Ingin ia segera ke sana, tapi mengingat sakit di wajah dan bibirnya, dia urungkan niat nekat itu. Namun ia benar-benar ingin menelepon nomor telepon yang tertera di kartu rumah makan itu.
Dia berharap salah satu nomornya adalah nomor Hilwa. Tapi sepertinya tidak mungkin, sebab seingatnya nama pemilik nomor tertulis di sana bukan nama Hilwa. Kendati pun begitu, tetap ia cari-cari kartu nama itu. Dia teringat dompetnya, ia segera mengambil dompetnya dalam jaket warna hitamnya itu.
"Alhamdulillah ya Allah, belum hilang kartunya." pekiknya bahagia.
Ingin ia menelepon, tetapi setelah dibacanya di sana tertulis nama kontak ayah dan ibunya Hilwa. Dia urungkan niatnya untuk menelepon laki-laki berewokan itu. Meskipun ia merasa tersakiti karena ucapan ayahnya Hilwa yang kata ayahnya matanya liar, tapi ia tidak ada niat sedikit pun untuk balas dendam: semacam mengerjai ayah Hilwa dengan meneleponnya di tengah malam begini, dia tidak setega itu sebab mengingat betapa indahnya wajah cantik Hilwa, hati kotornya bersih seketika karena tetesan embun cinta Hilwa.
Akhirnya ia memutuskan untuk menelepon ke nomor ibu Hilwa. Dia ketik angka demi angka. Tiba di angka ke sepuluh, ia berhenti.
Dia merasa tidak sopan menelepon seorang ibu yang sudah ia anggap calon ibu mertuanya. Padahal cintanya saja belum diketahui Hilwa.
Dia tetap melanjutkan mengetik nomor ibu Hilwa itu sampai selesai. Kemudian ia simpan dengan nama kontak: Ibunya Bidadariku. Tetapi tidak jadi ia telepon, ia hanya mengetik pesan singkat lalu mengirimkan pesan singkat dengan jari-jari gemetar karena senekat itu. Kemudian ia lanjut salat tahajud dan tidur lagi.
Waktu subuh bidadari desa Perapat Hilir itu bangun mengembang senyum. Seakan seisi Kuta Cane ikut bahagia karena senyumnya. Embun-embun pagi menetes deras karena senyum manisnya. Angin subuh membelai pipi cubby-nya. Hilwa tetap imut ketika ia tersenyum meskipun matanya terpejam.
Segera ia berwudhu, lalu salat subuh. Ia bangunkan ibunya. Ayah dan abangnya masih terlelap.
Setelah subuh ia mengaji, mengulang hafalan Al-Qur'annya yang lima belas juz itu. Yang benar-benar lancar ia hafal ialah juz satu sampai juz sepuluh. Sebelas hingga lima belas ia masih sama-samar.
Setiap subuh ia menghafal juz berikutnya dan mengulang lima juz yang masih lupa-lupa ingat itu. Sebenarnya kalau dia ingat awal ayatnya, maka ia bisa meneruskannya, tapi ia malah sering lupa awal ayat, demikian hingga ke ayat-ayat berikutnya.
Selesai muraja'ah hafalan, Hilwa memeriksa handphone-nya. Baterai hp miliknya dan hp ibunya telah terisi penuh. Ketika ia mencabut charger kedua handphone itu, ia mendapati ada nomor baru yang masuk ke nomor ibunya.
Handphone itu tidak ada password, ia pun membuka pesan dan membacanya. Setelah ia baca pesan singkat itu, pikirannya langsung ke pemuda yang ia berikan kartu rumah makan kemarin sore. Dia yakin itu adalah nomor lelaki yang baik beberapa hari ini bertemu dengannya. Dia tulis nomor baru itu kemudian ia hapus pesan baru yang masuk ke nomor ibunya.
Hilwa masih penasaran. Dia pun menulis pesan pendek di hp-nya,
"Maaf, nomor yang tadi," Hilwa menulis nomor ibunya.
"tidak ada pulsa, jadi saya balas dengan nomor yang ini. Tapi maaf sebelumnya, ini siapa?" Lama Hilwa menunggu balasan. Setelah tiga menit menunggu tidak ada balasan, ia pun lanjut rutinitasnya.
Pagi di desa Salim Pinim kali ini sedikit berbeda. Bapak-bapak jongkok di tepi pasar yang aspalnya ada yang telah rusak itu.Ternyata kejadian Harun dibegal tadi malam telah tersebar ke seluruh rumah penduduk desa Salim Pinim. Bapak-bapak dan ibu-ibu menyayangkan kejadian yang menimpa Harun. Tapi tiba-tiba mereka heran ketika melihat Harun mengeluarkan motornya dengan pakaian rapi.
Harun memakai kemeja hitam, celana jean hitam, sepatu hitam dan helm yang belum ia kenakan di kepalanya juga berwarna hitam. Motor Gl Pro-nya pun warna merah dan hitam.
"Mau kemana kau, Run?" tanya salah seorang bapak.
"Kerja, Pak."
"Yuh, udah sembuh rupanya kau, Run?" tanya seorang ibuk dari rombongan tongkrongan ibuk-ibuk.
"Alhamdulillah dari kemarin sampai pagi ini masih sehat, Buk."
"Tapi nggak kin cepat kali kau pergi kerja, Run? Embun pagi pun belum semuanya jatuh dari daun, kau tengok daun kates depan rumahmu tu masih tergenang embun, Run."
"Sekarang jam kerja kami sudah dimajukan bang Ilham, Pak."
"Ya sudah, hati-hati lah kau. Nanti pulangnya jangan lagi malam. Usahakan magrib udah sampai sini. Atau kalau pulang malam lewat jembatan Mbarung sana aja, lebih aman. Jangan lewat Pante Dona lagi.Takutnya ada begal baru lagi di situ."
"Baik, Pak. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." sahut ibu-ibu dan bapak-bapak semuanya serentak.
Baru dua menit ia meninggalkan Salim Pinim, kemudian ia putar balik lagi.
"Kenapa balik lagi, Run?" tanya seorang bapak yang sedang merokok. Semua mata memperhatikannya. Menunggu jawabannya.
"Aku perbaiki kataku tadi. Aku tidak mau berbohong. Sebenarnya aku pergi sepagi ini bukan karena jam kerja dipercepat Bang Ilham, tapi aku sedang jatuh cinta."
"Yuh-yuh, sama siapa?" tanya ibu-ibu penasaran.
"Anak mana, Run?" tanya bapak-bapak.
"Ais, bukan main kau sekarang ya, Run? Udah umur dua sembilan masih aja jatuh cinta. Harusnya kau udah punya anak satu, Run."
"Mohon do'anya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." Semua yang duduk di tepi pasar itu membicarakan tentang Harun. Lima belas menit setelah Harun pergi mereka pun bubar. Lagipula kendaraan sudah mulai ada yang lewat.
Harun lewat dari Jembatan Mbarung. Masih trauma ia lewat dari jembatan Pante Dona. Dia memilih ke arah desa Alur Langsat, kemudian Lawe Tungkal, Alur Nangke, Stambul Jaya, Paye Monje, Cikam Mekhanggun, Kuta Batu, Perapat Tinggi, Lawe Sikap. Sampai di jembatan Mbarung ia berhenti sejenak.
Dia membayangkan kejadian tadi malam di Pante Dona itu. Jembatannya sama miripnya dengan jembatan Pante Dona sana. Setelah menarik napas lega, ia melanjutkan perjalanannya menuju jantung kota Kuta Cane. Dari jembatan ini terlihat jelas kubah masjid Agung. Ingin sekali ia segera sampai ke masjid itu.
Setibanya di masjid Harun langsung masuk ke dalam dan salat dhuha. Tadi ia sudah wuduk di rumah.