"Gimana, Run, lancar hafalan kau?"
"Begitulah, Bang." jawabnya senyum-senyum.
"Bahagia kali keknya kau ni, Run. Ada apa? Kayaknya kau lihat Hilwa di parkiran masjid lagi ya?"
"Nggga, Bang."
"Apa te kalau bukan? Coba dulu abang dengarkan hafalan surah Yasin-mu tadi."
"Abang nggak ada wudhu, nggak boleh."
"Yuh, nggak lah terus najis aku ni. Mana sini al-Qur'anmu biar kusima' dulu hafalanmu."
"Ini aja bang pakai aplikasi Al-Qur'an, tapi tetap jangan sentuh layarnya. Abang pegang aja hp-ku ni, jangan sentuh layarnya. Nanti ketika halaman berikutnya aku yang swipe. Aku salah seorang yang sepakat dengan pendapat ulama bahwa menyentuh aplikasi Al-Quran haruslah berwudhu."
"Yuh-yuh, luar biasa kulihat adek bang ni sekarang! Betulnya wajahmu yang abang lihat ni, Run? Luar biasa memang Hilwa itu ya? Bisa mengubah pegawai bengkelku ini jadi Ustadz. Ais, cinta memang bisa merubah yang tidak mungkin menurut manusia bisa jadi mungkin ya, Run."
"Hehe biasa aja, Bang. Coba abang dengarkan ya, eh tapi abang pandai tidak baca Al-Qur'an?"
"Aste, Run. Abang ni pernah mondok, walaupun cuma dua tahun. Usah remeh kali lah sama abang, Run." Lalu Harun pun membaca Al-Quran dengan murattal bil-Ghaib alias tanpa melihat Al-Qur'an.
Begitu ia selesai, bang Ilham geleng-geleng,
"Gila-gila. Hari ni abang yakin dengan kekuatan cintamu pada Hilwa, Run. Semoga kalian berjodoh ya, Run."
"Allahumma Aamin, makasih, Bang."
Lalu Harun pun pulang ke Salim Pinim untuk menjemput pakaiannya dan minta izin pada ibunya bahwa mulai malam ini ia sudah menginap di rumahnya bang Ilham selama seminggu dan bahkan lebih satu hari sebab ada hari tambahan untuk muraja'ah hafalan di hari kedelapan seperti yang pak imam katakan.
Harun pulang dari arah kota menuju Kuning, dari kuning tembus ke Tembilakh kemudian lewat dari samping Bandara Udara Alas Leuser di Lawe Kinga lalu tiba di Semadam Baru dan lewat dari jembatan Pante Dona.
Sampai di jembatan ia berhenti dan melihat tempat kejadiannya tadi malam. Dia ingat baik-baik bagaimana awalnya ia memperkenalkan diri dengan ramah, menabrak motor begal, terpelanting kemudian dikunci dan dihajar dua orang begal. Dia juga tidak pernah lupa bagaimana ia bisa melumpuhkan begal dengan kunci Inggris.
Sore hari seperti ini banyak anak lajang yang nongkrong sampai magrib tiba, tapi setelah magrib suasana sepi. Tidak seorang pun duduk di jembatan ini kecuali yang punya jiwa-jiwa pembegal.
Tidak jauh dari tempat ia berdiri, tiga orang anak muda nongkrong dengan gitar dan melantunkan lagunya Syawal. Harun duduk di atas motornya dan mengikuti lirik lagunya,
"Bageken lawe si manun kahe. Ndak mungkin nemu mengkhubah nange. Edi me cinteku bamu. Aku ibakhatken kao bulan. Senankh nijage mepagakh bintang. Edi me cinteku bamu." Dua bait pertama lirik lagu itu sesuai untuk keadaannya saat ini.
Harun tidak ingin berlama-lama di jembatan, sebab ia mengejar waktu dan harus segera kembali ke kota sebelum hari benar-benar gelap. Sampai di Salim Pinim ia sedang mendapati ibunya duduk di teras sambil memotong sayur-sayuran dengan adik perempuannya.
"Sari, kau siapkan dulu pakaian abang, masukan dalam tas. Abang mau ngomong sama mamak ni." Sari segera bangkit dan masuk ke kamar abangnya untuk menyiapkan beberapa lembar pakaian.
"Mau kemana kau, Run?"
"Gini, Mak. Aku mau nginap di rumahnya bang Ilham selama tujuh hari dan mungkin lebih,"
"Kenapa kek gitu? Kerja lembur rupanya klen?"
"Bukan, Mak. Tapi aku mau menghafal Al-Qur'an, Mak. Aku udah bikin janji sama pak imam masjid Agung harus khatam tiga puluh juz dalam tujuh hari, Mak. Aku mau fokus. Dari rumah bang Ilham kan dekat ke masjid Agung, Mak. Aku ingin dari pagi sampai malam menghafal Al-Quran di masjid Agung, Mak. Pas waktu makan aja aku balik ke rumah bang Ilham, Mak."
"Masya Allah, Nak. Senang kali mamak lihat kau kek gini. Hebat betul bang Ilham mu itu ya, bisa merubahmu jadi anak saleh. Ya gapapa, Run. Tunggu ya mamak siapkan dulu beras untuk kau bawa ke sana, biar nggak habis beras bang Ilham mu nanti."
"Nggak usah lah, Mak. Soal itu nanti aku pakai duitku aja. Lagipula bang Harun mana kek gitu orangnya, malah senang abang tu aku nginap di rumahnya, Mak."
"Ya memang, tapi Mamak rasa tetap harus bawa beras meskipun bang Ilham dan kak Siti mu itu baik."
"Kalau kak Siti nggak mau menerimanya kek mana, Mak?"
"Alah... Kau tarok ajalah nanti di sana, soal terimanya atau nggak tetap tarok di dapurnya nanti."
"Okelah kalau gitu, Mak. Aku ngikut saran mamak ajanya ni."
Harun masuk ke dalam kamarnya. Dia melihat isi tasnya. Dia tambahkan lagi isi tas ransel warna hitam itu dengan dua lembar kemeja. Sambil menunggu ibunya menyiapkan beras untuk ia bawa ke Pulo Latong, Harun mengaktifkan data hp-nya. Di sana ada pesan masuk via WA dari Hilwa tadi asar. Bukan main senangnya Harun. Segera ia balas,
"Abang lagi di Salim Pinim dek, Hilwa." Hilwa sedang minum jus mangga di rumah makan, mendengar notifikasi WA itu ia pun segera membaca dan membalasnya,
"Oh pantaslah nggak nampak bang Harun di masjid. Salim Pinim itu di mana kin bang?"
"Di dekat Pante Dona, tau adek?"
"Pante Dona tau aku bang, tapi Salim Pinim nggak tau."
"Adek pernah ke seberang sini?"
"Pernah dulu sekali pas kelas tiga SMA bang. Ke rumah kawanku, kalau nggak salah nama desanya Lawe Kongkekh, bang."
"Oh, gitu. Selain Lawe Kongkeh, desa apa lagi yang adek tau? Pernah ke desa Kepuh nggak? Atau dari Lawe Kongkekh tembus ke desa Lawe Mukukh, Lenggakhe, terus muncul di desa Stambul Jaya, pernah, Dek?"
"Nggak pernah bang, entah di mana pun itu. Banyak juga ya bang nama-nama desa di Ngkran sana."
"Ya dek banyak kali pun. Adek pernah dengar desa Alur Pacat? Alur Langsat, Alur Nangka? Dusun Jambu? Dusun Duda?"
"Wih, kok aneh gitu nama desanya, bang? Betulnya abang ni? Ketawak aku bacanya bang. Nama-nama buah-buahan. Terus masa ia ada Dusun Duda bang?"
"Gitu lah dek, unik dan lucu memang dek. Dusun Duda tu abang tau dari teman abang juga dek, entah betul ntah nggak. Orang kepakh sini susah memikirkan nama desanya, jadi dibuatlah menurut kejadian alam. Kalau banyak pohon durian dibuatlah nama desanya Khutung Mbelang."
"Hahaha, lucu ya bang. Tapi Hilwa sukak dengar nama desanya bang, lucu dan unik! Sekarang giliranku dulu ngetes abang ni, abang pernah dengar desa Tedakhoh?" Sengaja dipilih Hilwa nama desa yang jarang didengar banyak orang itu. Lama Harun mikir, ia ingat-ingat kembali nama-nama desa di Kuta Cane. Seingatnya dari hulu ke hilir sudah pernah ia kunjungi desa-desa di Kuta Cane hingga ke pelosok, tapi belum pernah ia dengar Tedakhoh.