HARUN HILWA

Daud Farma
Chapter #12

Kembali Pada Yang Maha Esa

Satu tahun lima bulan empat belas hari kemudian.⁣

Umur Harun genap tiga puluh satu tahun. Dia belum menikah. Dia masih teringat pada Hilwa. Cintanya hanya untuk Hilwa. Dia masih mengajar Al-Quran di masjid kampungnya Salim Pinim. Tetapi kini dia tidak sendiri. Dia dibantu tiga orang muridnya yang telah khatam dan yang paling kuat ingatannya. Yang lain juga khatam namun tidak lolos ujian akhir dari Harun seperti yang gurunya lakukan padanya satu tahun silam di masjid Agung.⁣

⁣Setelah magrib itu datang abangnya Ilham dan Siti. Sudah lama sekali pasangan suami istri yang tinggal di Pulau Latong itu tidak ke Salim Pinim. Ayah dan ibu llham telah tiada. Ada pun ibunya tiga bulan setelah ayahnya meninggal. Ibu Harun senang sekali dijenguk Ilham dan Siti. Ibu Harun dan adiknya Sari tidak jadi masak untuk makan malam ini sebab lauk tandang itu sudah cukup untuk enam orang. Siti memasak Manukh Labakh dan ikan mas sayur dan ikan mujahir nila panggang.⁣

Harun sangat lahap sekali makan malam ini. Apalagi ayahnya dan adiknya Sari, telah menambah nasi dua kali.⁣

Selepas makan malam Ilham pun ingin bercerita pada Harun. Sudah tidak ingin lagi ia tutupi. Lagi pula berita itu baru ia tahu kemarin.⁣

"Run, Fathan meninggal,"⁣

"Innalillahi wa inna ilahi raji'un, kenapa dan kapan, Bang?"⁣

"Dua hari lalu. Diterkam harimau sedang berburu rusa di gunung. Mereka lima orang, Run. Tapi mereka pisah. Fathan berdua dengan temannya menjaga di atas, tiga orang di sungai. Tiba-tiba Fathan disambar Harimau. Harimau itu mengigit lehernya dan dibawanya lari. Sore itu juga banyak dari prajurit TNI dan Polisi yang mencari jenazahnya ke gunung, Run. Namun tidak dapat. Keesokan harinya barulah ditemukan Fathan di tengah hutan rindang, Run. Harimau itu ditembak bius oleh petugas. Hari ini tadi Fathan dimakamkan, Run. Abang pun ikut tadi mengantarnya ke pemakaman."⁣

"Innalillahi wa inna ilahi raji'un. Syahid insyaAllah, Bang."⁣

"Aaminn." jawab Ilham. Kemudian suasana hening. Harun membayangkan betapa lukanya hati Hilwa atas musibah yang menimpa bidadari Perapat Hilir itu. Dia tidak sanggup membayangkan Hilwa mengurung diri di kamar dan meratapi kepergian suaminya. Lama Ilham dan Harun terdiam. Lebih lima menit, ⁣

"Run," katanya kemudian.⁣

"Ya, Bang?"⁣

"Kau masih mencintai, Hilwa? Kau jawab jujur, Run. Jangan bohong pada dirimu sendiri," Harun tidak bisa menjawab. ⁣

Pertanyaan itu terlalu cepat ia rasa untuk ia dengarkan dan tak perlu ia jawab.⁣

"Kalau kau mencintainya, biar aku sampaikan pada temanku si Lukman kalau masa 'iddah Hilwa telah selesai nantinya. Abang rasa Hilwa pun masih cinta padamu, Run. Walaupun memang ia telah sangat mencintai suaminya. Perempuan memang begitu, Run. Meskipun dijodohkan, meskipun misalnya menikah paksa mereka akan tetap menyayangi dan mencintai suaminya, hal itu akan terlihat ketika suami mereka telah tiada, Run. ⁣Tapi kayaknya si Hilwa memang dari awal dia cinta sama suaminya, Run. Terlebih Fathan memang senior Hilwa pas aliyah dulu," Harun tetap diam. Tatapannya kosong, air matanya telah di pinggir kelopak matanya, sedikit lagi air mata itu akan mengalir membasahi kulit pipinya.⁣

"Ya sudah, Run. Kalau kau tidak mencintainya lagi, segeralah menikah. Jangan menjomblo hingga menua." Ilham pun keluar dari kamar itu dan pergi ke kedia kopi.⁣

Harun tetap diam. ⁣Harun kembali ke masjid dan istirahat di masjid, sudah hampir dua tahun ini dia lebih betah di masjid daripada di rumah. Pada pukul satu malam ia salat tahajud minta petunjuk pada Rabb-Nya, ⁣"Astaghfiruka ya Allah, sungguh aku tidak pernah menginginkan suami Hilwa meninggal. Engkau Maha Tahu isi hatiku. Aku tidak pernah membencinya. Bahkan aku tidak pernah berpikir untuk membenci Hilwa karena besarnya cinta dan sayangku padanya. Kenapa secepat ini Engkau ambil suaminya ya Allah? Sungguh aku tidak kuat dan tidak tega mendengar kabar Hilwa bersedih ya Allah.⁣

Turunkanlah embun surga ke hati Hilwa ya Allah, agar hatinya terang dan ikhlas menerima takdir dari Engkau ya Allah." ⁣

Seusai salat ia pun membaca buku fiqih yang ada di rak bukunya. Dia buka bab 'iddah yang tadi ia dengar dari abangnya Ilham. Di sana ia buka tentang masa 'iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya. ⁣

Jika suaminya meninggal sedangkan istri masa hamil, maka 'iddahnya adalah sampai anaknya lahir. Namun jika tidak dalam keadaan hamil, maka masa 'iddah baginya adalah empat bulan sepuluh hari. Harun pun ingat betul ia hafalannya tentang ayat 'iddah di juz dua itu. Yaitu pada ayat ke dua ratus tiga puluh empat, ia paham betul arti ayat tersebut: ⁣

"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah Para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu perbuat." al-Baqarah: 234.⁣

***

Waktu kian cepat berlalu, bahkan disadari atau tidak waktu berlalu seakan tak ada bilangan waktu, tak ada detik, menit dan jam. ⁣Waktu begitu cepat berlalu bahkan hanya meninggalkan jejak di ingatan, tidak pada perbuatan. ⁣

The Time Is Sword, waktu bagaikan pedang. Waktu begitu berharganya sehingga kita tidak boleh lalai dan sampai menyia-nyiakannya. Waktu tidak dapat diputar seperti memutar jarum jam, tidak dapat mundur ke belakang sedetik pun. Sekali kita lalai, maka waktu takkan pernah terulang. Kesempatan kita untuk berbuat sesuatu akan dipotong oleh pedang waktu.⁣

Dua bulan kemudian Hilwa melahirkan anaknya. Fauziah Humaira nama putri mungilnya itu. Obat gundahnya. Meskipun suaminya telah tiada, ia merasakan seakan suaminya hadir, gantian menggendong anaknya.⁣

***⁣

Hilwa masih mencintai suaminya meskipun telah tiada. Tidak mudah ia melupakan orang yang telah satu bau badan dengannya. Jika ia rindu suaminya ia mencium bau kemeja suaminya yang digantung di lemari pakaian. Ada tiga baju yang sengaja tidak ia cuci agar ia terusan bisa mencium bau badan suaminya.⁣

⁣Sejak menikah dengan Fathan, Hilwa telah menumbuhkan paling pucuk ketinggian rasa sayang pada suaminya. Dia yakin betul hanya Fathan sehidup sesurga dengannya. Sesuai dengan janji Fathan dulunya ketika mengobrol dengan ayah Hilwa di warung makan itu. Fathan sebisa dan se-sempat mungkin ia izin dan pulang ke Kuta Cane. Sementara Hilwa tinggal bersama ayahnya. ⁣

Sebelum Hamil tujuh bulan Hilwa terus saja lanjut istiqamah salat asar dan magrib jamaah di masjid Agung kalau ia masuk kerja di rumah makan. Meskipun ia tidak pernah melihat Harun. Bahkan ia pun lupa dengan orang baik yang pernah ia kenal itu. ⁣

Sejak melahirkan sampai sekarang umur putri kecilnya Fauziah Humairah telah berusia enam bulan ia belum pernah lagi salat jama'ah di masjid Agung. Hilwa hanya salat jama'ah di rumahnya. Karena sejak hamil sampai saat ini ia belum pernah lagi masuk kerja rumah makan milik kedua orang tuanya itu.⁣

Malam setelah tahajud Hilwa mengirim pesan kepada nomor dengan nama kontak: orang baik, itu. Hilwa berharap nomor itu masih aktif,⁣

Lihat selengkapnya