Gemuruh petir menggelegar, deras hujan berirama jatuh membasahi tubuhku yang penuh luka. Darah mengalir, mengabur bersama aliran hujan yang jatuh.
Tali cambuk itu masih terangkat, jatuh tepat pada punggungku.
Aku meringis, bibirku berdarah akibat aku gigit menahan sakit yang tak terkira.
Tuhan, ambillah nyawaku. Aku sudah tak sanggup.
Manik mataku terangkat, sorot mata tanpa belas kasih itu telah membersamaiku selama delapan belas tahun.
Aku hanyalah boneka, mengangguk dan menggeleng sesuai arahan.
"Runa, ini sudah ke sekian kalinya kamu mencoba melarikan diri. Sepertinya, kulit kamu sudah kebal ya dengan cambuk ini."
Seringai itu, suara penuh ancaman itu hanya bisa aku dengar, tanpa bisa membantah.
"Liam, ambil jalinan rotan di gudang. Gadis sok berani ini mau mencobanya."
"Baik, Madam."
Tubuhku menggigil, gemetar bukan karena takut dengan rotan itu. Tapi, luka di tubuhku yang rasanya sudah mencapai batas.
Mungkin malam ini, Tuhan akan mengambilku, kembali pada pangkuan-Nya.
"Runa, kamu sudah berada di sini sejak kamu kecil. Jangan lupa, kamu itu dijual oleh orang tuamu. Mereka hanya menginginkan anak laki-laki. Jadi, harusnya kamu bersyukur karena masih bisa hidup dengan layak di sini."
Aku terkekeh. "Layak?"
"Kenapa? Kamu tidak terima? Sudah bagus tempat ini mau menampung anak buangan seperti kamu."
Dengarlah, begitu tajam dan menohoknya ucapan seseorang yang katanya telah merawat dan membesarkanku.
Nyatanya, aku hanyalah alat untuk bisnisnya. Kekayaannya, ada andilku di sana.
"Berhubung kamu semakin lama semakin membangkang, saya telah menyediakan kelas etika untuk kamu. Sekaligus, cara agar klien betah dengan layananmu."
Aku diam. Menunduk dengan air mata jatuh, tersamarkan oleh derasnya hujan malam itu.
"Ini rotannya, Madam."
Mendengar itu, aku mengepalkan tangan, bersiap untuk merasakan rasa sakit yang entah kapan akan berakhir.
"Rotan ini sebagai pengingat untuk kamu agar di kemudian hari kamu tidak berpikir untuk melarikan diri lagi."
Dia mendekat, lalu memegang daguku. Cengkeramannya cukup kuat.