Aku membenahi duduk saat lelaki berjanggut tipis dengan setelan koko khas pesantrennya berjalan melewati pintu. Sengaja kupilih tempat yang langsung menghadap pintu masuk rumah makan sederhana ini agar bisa melihat kedatangannya. Nyaris tidak kudengar sapaan pelayan yang menghidangkan segelas jeruk hangat di hadapanku saat lelaki tersebut memindai pandangan ke seluruh sudut.
Aku terpukau. Dan mendadak gugup. Begitu pula dengan detak jantung yang semula tenang-tenang saja, perlahan ritmenya meningkat semakin cepat. Batinku bertanya lagi untuk kesekian kali, apakah aku siap dengan pertemuan ini. Namun, semua sudah kepalang basah. Mau tidak mau aku memang harus menemuinya.
Tentu saja lelaki itu tak akan bisa mengenaliku, tidak seperti kemarin sewaktu aku meneleponnya. Suaraku mungkin sangat dia rindukan dan langsung bisa dikenali, tapi wajahku tidak. Semuanya sudah berubah: garis alis, bentuk hidung, lekuk bibir. Dan lihat, setelah sejauh ini aku berlari--setidaknya begitu perkiraanku--lelaki ini masih saja menjadi sebuah titik lemah. Kelemahan yang telak membawaku kembali untuk mendapatkan bantuannya. Perlindungannya. Cepat atau lambat.
Perutku terasa melilit seketika, seperti diserbu perasaan demam panggung. Lelaki ini, yang sudah enam tahun tidak pernah kutemui lagi, masih saja sama. Sinar mata teduhnya, rambutnya yang bergelombang, wajah bercahaya penuh wibawa dan kebapakan. Yang beda hanya janggut tipis, garis tegas wajah yang membuatnya semakin tampak matang, juga cara berpakaiannya. Pengalaman hidupku enam tahun belakangan membuatku lihai mendeteksi penampilan orang lain.
Seingatku, terakhir kulihat dulu, lelaki ini masih mau memakai celana jeans dan kaus oblong. Sekarang, celana kain dan koko putih bersih yang membungkus tubuh tinggi ramping itu--untuk pertemuan semacam ini? Orang-orang pikir dia pasti mau mengaji. Namun dengan penampilannya yang alim itu, dia semakin menyerupai manusia yang tidak punya dosa. Berbanding terbalik denganku. Ah, manusia selalu mengalami perubahan, bukan? Sebagian berubah lebih baik, sebagian yang lain termasuk aku, berubah mengikuti arus kelam. Aku tersenyum getir saat memikirkan hal itu.
Masih teringat jelas bagaimana reaksinya kemarin begitu kusebut namaku dalam sambungan telepon. Nadanya yang mendadak meninggi sudah cukup membuatku tahu bahwa dia terkejut setengah mati. Pastinya. Siapa juga yang tidak bakal terperenyak saat menerima telepon dari orang yang sudah enam tahun dianggap mati? Aku bahkan menduga dia tidak akan percaya dan langsung menutup telepon.
Namun, tidak. Dia justru berseru, "Aku tahu! Aku yakin kamu masih hidup! Aku tidak pernah percaya semua desas-desus itu! Kamu masih hidup!" Dan dengan nada yang penuh antusias, dia mengiyakan begitu aku mengajaknya bertemu. Aku bilang situasiku sedang genting sekali, dan aku butuh dia. Rupanya dia memang masih sama. Orang yang selalu siap membantuku kapan saja. Satu dari hanya dua lelaki yang kucintai di dunia ini.
Pelayan sudah kembali ke belakang, dan lelaki itu masih terus mencari-cari dengan raut wajah bingung. Begitu yakin sosok yang dicarinya tidak ada--aku--dia pun berbalik untuk keluar. Tak ingin menyiakan kesempatan, kulepas kacamata hitam yang sedari tadi menutup sempurna kedua netra. Kacamata ini membantu sekali dalam upaya penyamaran selain scarf bunga-bunga yang kukenakan. Biasanya aku tidak menutup kepala dengan kerudung. Yah, setidaknya sudah enam tahun lepas aku meninggalkan kewajiban menutup aurat yang katanya diharuskan itu.
"Bang Hasan." Suaraku lebih parau dari yang kuduga.
Lelaki itu menoleh, pertanda seruanku tertangkap jelas olehnya. Dia menyipitkan mata. Awalnya dia tertegun, tapi perlahan melangkah mendekatiku dengan ragu.
"Iya, Bang, ini aku," ucapku saat dia sudah berada tepat di seberang meja tempatku duduk.
"Has-Hasana?" Dia tergeragap, bingung haruskah percaya pada pendengaran atau penglihatannya.
Aku mengangguk. "Iya, Bang, ini aku. Hasana." Sorot mataku nyalang menatapnya, berharap semoga masih ada sesuatu yang tertinggal dari diriku yang dulu, yang bisa dikenalinya.
Lelaki itu menggeleng tegas. "Kamu yang telepon ke pesantren kemarin? Kamu mau nipu saya? Kamu bukan Hasana!" hardiknya dengan bibir bergetar, sukses membuat berpasang-pasang mata mengarah pada kami.
"Duduk dulu, Bang. Biar kujelaskan semuanya." Aku mencoba menenangkan Bang Hasan sambil menebar senyum tanda permintaan maaf pada orang-orang yang merasa terganggu.
Masih bergeming, dia terus menatapku lekat-lekat. Sampai aku berdiri di belakangnya, meraih kedua bahunya dan mendudukkan dia di kursi di hadapanku, dia masih terperangah. Seperti sedang melihat hantu di siang bolong saja.
"Bukan. Kamu bukan Hasana." Dia mendesis curiga.
Segera kusodorkan sebuah E-KTP dengan nama Hasana Zahra Humaira tertera di sana. Bang Hasan memungut, lalu mengamatinya dengan saksama.