Jika ada lelaki yang kucintai di dunia ini, itu cuma dua: Bang Hasan dan Bapak. Mempunyai kedua sosok tersebut membuatku selalu merasa punya superhero. Tinggal panggil salah satu di antara mereka, maka semua masalahku akan selesai. Serumit apa pun. Bukan berarti aku doyan membuat masalah, tapi orang-orang yang seringkali mencari masalah denganku.
Teman SD-ku contohnya, namanya Joni. Entah kenapa dia suka sekali menggangguku, merebut jajan yang sedang kumakan, mencoret-coret buku, bahkan jahil menyibakkan rokku. Hingga pada suatu hari aku tak tahan lagi. Alhasil, kutonjok wajahnya sampai lubang hidungnya mengeluarkan darah. Tentu saja ibunya marah besar. Sepulang sekolah aku dihadang dan dimarah-marahi, padahal Joni yang salah. Aku menangis, mengadu pada Bapak. Dan malamnya, entah apa yang Bapak lakukan, Joni dan ibunya datang ke rumah kami sambil membawa setandan pisang. Ajaibnya, setelah itu Joni tidak pernah menggangguku lagi. Sampai besar, aku tidak pernah tahu apa yang sudah Bapak nasihatkan pada anak badung itu.
Lain waktu, anak Juragan Irman yang terkenal paling kaya sekampung mengguyurku dengan seember air bekas mengepel kelas. Katanya dia tidak suka aku dan Joni sekarang jadi kawan dekat, karena dia naksir Joni. Demi Tuhan, saat itu kami masih berumur delapan tahun dan aku tidak mengerti maksudnya apa. Mungkin pemikiran anak orang kaya memang beda.
Tak mau menonjok sesama anak perempuan, aku mengadu pada Bang Hasan yang waktu itu masih kelas enam di SD yang sama. Esok dan seterusnya, si anak kaya tersebut tidak berani lagi mendekatiku, entah apa yang Bang Hasan lakukan. Mungkin dia mengambil dan menghancurkan pita rambutnya yang mahal. Biar saja. Sukurin.
Kami hidup di kampung, di pelosok Jawa Timur. Bapakku seorang petani biasa yang setiap hari bekerja menggarap sawahnya. Ibu, selayaknya seorang istri petani, bertugas mengantarkan rantang makan siang untuk Bapak. Dari sawah Bapak yang cukup luas itulah kami bisa bertahan hidup. Tidak mewah, tapi juga tidak kekurangan. Hidup adem ayem di kampung seperti ini memang menenangkan hati. Warganya rukun, saling tepa selira dan gotong royong. Tiap ada yang tertimpa musibah, semua berduyun-duyun membantu. Surau kecil di kampung terasa hangat dan semarak setiap maghrib, diisi dengan tadarus Alquran oleh anak-anak. Apalagi setiap bulan Ramadhan, wah, suasananya selalu membuat rindu. Kupikir, semua itu adalah hal yang sudah langka ditemukan jika hidup di perkotaan.
Sore hari setiap Minggu, Bapak mengajari anak-anak di kampung kami beladiri. Dari cerita Ibu, jika ditarik silsilah lurus ke atas, Bapak memang masih keturunan seorang pendekar. Mataku membulat saat mendengar kisah itu. Hebat sekali bapakku! Sayangnya, semua yang diajari Bapak adalah anak laki-laki, karena menurut sudut pandang orang kampungku yang masih agak kuno, anak perempuan tidak perlu bisa beladiri. Malah itu adalah hal yang tabu dan pecicilan, berbanding terbalik dengan kodrat seorang perempuan yang harusnya anggun.
Namun, terlepas dari darah pendekar yang masih mengalir dalam nadiku atau bukan, aku begitu tertarik untuk bisa beladiri. Entah, menurutku itu keren. Ibu berulang kali melarang setiap aku ikut nimbrung murid-murid Bapak di dalam barisan. Tidak perlu, katanya. Tapi, saat berbagai gangguan dari teman-teman membuatku sering resah, Bapak menitahkan satu pemikiran dan tindakan besar yang akhirnya mendobrak pola pikir mayoritas orang kampung kami: memberi bekal beladiri pada anak perempuan bukanlah kesalahan.
"Bapak ajari kamu beladiri, biar kamu bisa menjaga diri. Perempuan itu rentan jadi sasaran kejahatan. Kalau suatu saat tidak lagi ada Bapak dan Bang Hasan di dekatmu, yang harus jaga dirimu ya kamu sendiri, Na." Bapak berpetuah sebelum menggojlokku dengan latihan demi latihan yang meremukkan tulang, tapi menyenangkan.
Dari situlah, tepat saat umurku sepuluh, aku dilatih secara privat oleh Bapak. Intens. Terus menerus setiap Sabtu sore hingga malamnya aku tidur mendengkur karena kelelahan. Aku satu-satunya anak perempuan yang berani membuat perbedaan, mengambil jalan yang orang-orang sebut tabu. Namun, berkat itu, di bangku kelas dua SMP aku juga menjadi satu-satunya perwakilan sekolah untuk lomba beladiri sampai tingkat provinsi. Selain medali, bonus yang kudapat dari beladiri adalah teman-teman yang tidak berani menggangguku lagi kalau tidak mau kupatahkan kakinya. Ya
Akhirnya, aku dan beladiri tidak lagi bisa dipisahkan. Bapak terus melatihku berdua Bang Hasan, sampai dia lulus SMA dan memutuskan masuk pesantren. Bang Hasan menolak kuliah, dia lebih tertarik jadi Menteri Agama atau ustadz. Bapak terkekeh mendengar cita-citanya, tapi kemudian dia berujar, "Bagus. Biar kampung ini punya orang yang benar-benar pintar dan ngerti agama. Jadi tidak asal comot saja. Lihat, masa Bapak yang ilmunya cethek ini disuruh jadi imam masjid dan khotbah setiap Jumat? Malu Bapak," ucapnya merendah.
Maka, sejak saat itu satu sosok superhero-ku berada berkilo-kilometer jauhnya. Aku baru saja masuk SMA saat Bang Hasan lulus, jarak kami memang hanya tiga tahun. Itulah tahun-tahun terakhir Bapak. Sakit liver yang entah ada sejak kapan, membawanya berpulang dengan damai tepat di hari pengumuman kelulusan Ujian Nasional SMA-ku. Di antara napasnya yang tersengal satu-dua, juga kalimat talqin yang terus dibisikkan Bang Hasan di telinganya, Bapak sempat berpesan: jaga Hasana dan ibumu, Hasan...
*
Aku tidak tertarik untuk kuliah meski Bapak sudah menyiapkan biaya. Entahlah, aku tidak punya cita-cita spesifik seperti umumnya remaja-remaja seumuranku. Yang terbersit di benakku hanya bagaimana supaya aku bisa membantu Ibu dan tidak terus menerus merepotkannya. Aku lebih memilih bekerja di sawah bersama Ibu, sementara Bang Hasan yang sudah kepalang tanggung nyantri meneruskan nyantrinya. Itulah saat di mana aku mulai sadar, beladiri yang diajarkan Bapak sungguh-sungguh kuperlukan. Saat aku tahu bahwa di belantara bumi ini, makhluk yang bernama lelaki tak semuanya sebaik Bapak dan Bang Hasan. Terlebih saat keduanya tidak lagi bersamaku.
Lelaki brengsek itu mewujud sebagai Haryo. Dia bapak tiriku. Ya, Ibu menikah lagi satu tahun setelah kepergian Bapak, dengan alasan tak ada yang bisa diandalkan untuk mengurus sawah. Seringkali aku tidak habis pikir pada wanita yang telah membawaku ke dunia tersebut. Bagaimana mungkin Ibu bisa secepat itu berpindah hati, padahal selama hidupnya, Bapak adalah suami dan ayah yang sangat baik? Namun, aku juga tidak bisa menolak. Mungkin benar, Ibu memang kewalahan mengurus sawah. Tenaganya tidak sebanding dengan laki-laki. Mau diburuhkan juga sayang jika harus terus-terusan.
Yang tidak pernah kupikirkan adalah dampak dari hadirnya sosok ayah tiriku. Sejak saat itu rumah rasanya tidak lagi sama. Bukan hanya aku harus terbiasa memanggil dia dengan sebutan bapak, melainkan karena gelagatnya yang seringkali membuatku merasa risih. Tatapan matanya bukan seperti tatapan sayang bapak terhadap anak, tapi ... entahlah. Aku belum punya pengalaman pacaran, tapi aku sudah cukup familiar dengan tatapan semacam ini. Tatapan lelaki yang ingin memangsa perempuan.
Karena itu, aku berulang kali minta izin kepada Ibu untuk kerja di kota saja, Surabaya misalnya, pergi dari kampung. Namun, berkali-kali pula Ibu menolak. Tentu di balik alasan tersebut, aku sebenarnya hanya ingin menghindari suami Ibu. Rasanya semakin hari sikapnya semakin aneh. Saat Ibu tidak di rumah dia sering duduk di sampingku di beranda, lalu berpetuah ngalor-ngidul sambil menepuk-nepuk pahaku. Bukannya rasa diayomi yang kurasakan, tapi justru takut. Kalau sudah begitu aku bergegas masuk kamar dan mengunci pintu.
Perasaan tak beres tersebut akhirnya terbukti. Siang itu, Ibu sedang arisan di kampung sebelah. Hujan turun deras sekali. Aku yang tadinya sedang asyik menonton TV pun beranjak ke kamar karena guntur bersahutan. Tak kusangka, Haryo masuk diam-diam saat aku sudah berada di ambang kantuk. Sialnya, aku lupa mengunci pintu. Aku tersentak bangun begitu dia dengan berani duduk di samping ranjang dan mengelus-elus kakiku yang tertutup selimut.
Aku terkesiap. Perutku bergelenyar. Lututku terasa lemas. Buncahan emosi seketika bercampur aduk dalam dada. Marah. Tentu saja aku sangat marah. Namun, emosi itu seperti tidak ada apa-apanya dengan perasaan terhinaku karena ulah bejat lelaki sinting ini. Anehnya, aku tidak bisa melawan. Tubuhku justru terasa membeku. Lidahku pun kelu. Setelah berlangsung beberapa detik, dengan gemetaran, akhirnya aku bisa menampik tangan Haryo dan memasang sikap defensif.