"Kita tidak bisa lama-lama di sini, Bang." Aku menjeda cerita yang masih sangat panjang demi melihat sebuah Jeep yang baru saja terparkir di seberang jalan. Terik surya membara, sehingga jalan aspal bekas dilindas Jeep tersebut mengepulkan debu yang membentuk fatamorgana.
Segera kuraih jaket kulit yang tersampir di bahu kursi dan mengenakannya. "Kita harus pergi, Bang. Sekarang!" ucapku pada Bang Hasan, yang kedengarannya lebih menyerupai perintah mutlak.
Bang Hasan terlihat bingung. Atau lebih tepatnya syok. Itu sudah pasti.
"Tapi ceritamu belum selesai, Na. A-Abang tidak menyangka bapak tiri kita akan berbuat ... ya Allah, maafin Abang ya, Na. Harusnya Abang tidak pernah meninggalkan kalian berdua di rumah tanpa Abang."
Bibir Bang Hasan berkedut, warna wajahnya masih berubah-ubah seperti saat aku sedang bercerita tadi. Pias, merah padam, lalu pias lagi. Dia juga terlihat mengertakkan rahang dan mengepalkan tinju saat ceritaku tiba di bagian percobaan pelecehan yang dilakukan Haryo. Namun, aku tak bisa bersimpati atau sekadar menghibur Bang Hasan bahwa toh semua itu sudah berlalu. Tidak sekarang. Apalagi saat kulihat dua orang berbadan kekar, berkemeja rapi, keluar dari mobil Jeep itu. Sialan!
"Ayo pergi, Bang!"
Aku berdiri, tanpa perlu basa-basi lagi. Sementara, Bang Hasan masih tak beringsut barang sesenti dari kursinya. Mulutnya tak henti mengucap istighfar sebagai reaksi atas kisah yang baru dia dengar. Dia tidak tahu ada bahaya di luar rumah makan ini yang sedang mengintaiku---mungkin sekarang lebih tepatnya kami---yang bisa membuat dia istighfar seumur hidup.
"Bang! Ayo!"
Aku terpaksa menarik tangannya. Bang Hasan akhirnya berdiri dengan masygul, diikuti mimik muka keruh.
"Ada apa sih, Na?" tukasnya.
"Sstt, pokoknya kita harus segera pergi dari sini. Nanti aku jelaskan, Bang," selorohku dengan berbisik.
Kami bergegas menuju pintu---satu-satunya akses masuk dan keluar rumah makan ini---sebelum sebuah suara membuatku tersentak.
"Mbak!"
Ya Tuhan. Matilah aku. Tentu saja. Aku tidak akan pernah aman meski sembunyi di lubang tikus sekalipun. Mungkin aku baru akan aman setelah meleleh di neraka. Sudah kupegang benda kesayangan yang sedari tadi tersimpan anggun di balik jaket kulit, sebelum si pemilik suara melanjutkan, "Mbak belum bayar pesanan."
Huft! Kuembuskan napas lega. Ternyata pelayan rumah makan. Segera kuraih dompet dari dalam tas, lalu menyodorkan selembar ratusan ribu pada cowok tinggi kurus dengan jerawat besar-besar di pipinya itu.
"Ambil saja semuanya," ujarku cepat saat dia sedang memproses nota. Aku cuma pesan jeruk hangat dan Bang Hasan tidak mau apa-apa karena berpuasa. Uang itu lebih dari cukup.
"Hah? Tapi ini kebanyakan banget, Mbak." Si pelayan protes.
Aku bergegas menjawab agar urusan bayar-membayar ini tidak memakan waktuku yang berharga. "Iya, ambil aja buat tip kamu." Dan si pelayan nyengir lebar sambil mengucapkan terima kasih dengan wajah semringah.
Kami keluar menuju parkiran. Berkali-kali kutarik lengan koko Bang Hasan untuk mengikuti gerakanku yang mengendap-endap di antara sesemakan dan deretan mobil-mobil yang terparkir di sana.
"Ada apa sih, Na?" protesnya. "Aneh sekali kamu ini!"