HASANA (Jalan Hijrah sang Gadis Mafia)

Ayu Fitri Septina
Chapter #4

4 - Aku Hasana

Bang Hasan menepikan pick up butut tumpangan kami yang jalannya kini mulai terasa seperti odong-odong. Kami sudah memasuki jalan tol, baru sekitar lima belas menit bebas dari Pengkor. Beruntung juga kami tidak keburu diburu polisi. Orang-orang di sekitar jalan tempat kejadian peristiwa tembak menembak barusan pasti melihat bahwa kamilah biangnya. Pengendara mobil bak terbuka yang membawa pistol! Membunuh orang! Wah, bisa-bisa aku dipenjara seumur hidup karena itu. Namun, alih-alih memburu pelaku atau menghafal nomor plat mobil kami, orang-orang justru sibuk merekam Pengkor yang isi kepalanya terburai di jalanan dengan ponsel mereka. Bahkan, aku jamin mereka juga lupa untuk menghubungi polisi atau petugas medis. Aneh sekali memang kebiasaan netizen negeri ini. Kali ini, kebodohan mereka membuat aku dan Bang Hasan beruntung.

Namun, tentu saja aku belum boleh lega, karena Pengkor hanyalah pembuka dari Pengkor-Pengkor lain yang akan terus mencariku. Well, sampai ke ujung dunia. Benar, aku tidak bohong. Ini bukan semata kiasan. Urusanku memang sepelik itu. Dalang di balik peristiwa tadi tentu tidak akan terima anak buah kesayangannya mati mengenaskan di tangan orang yang mengkhianatinya. Pembalasan dendam tersebut masih akan berlangsung panjang. Aku hanya perlu bersiap. Bukan untuk melindungi diriku sendiri, tapi untuk memastikan Bang Hasan tetap hidup tenteram. Biar bagaimana pun, abangku satu-satunya itu pasti akan masuk daftar teratas orang yang harus diringkus begitu berita kematian Pengkor ini berembus ke markas.

Aku tidak terlalu mengkhawatirkan polisi, karena toh mereka tidak akan melapor polisi untuk repot-repot menangkapku. Karena, melapor ke pihak berwajib sama artinya dengan membunuh diri mereka sendiri. Meski yah, tidak akan sampai terbunuh juga sih, melainkan cuma menambah daftar panjang urusan pekerjaan.

Kusebut mereka, karena ya, aku berurusan bukan dengan satu orang. Melainkan komplotan yang maha besar dan strukturnya tertata demikian rapi. Bisa bebas dari mereka sejauh ini saja sudah termasuk rekor. Dari pengalaman, orang yang dianggap sebagai pengkhianat sepertiku tidak akan bisa lari lebih dari satu kilometer jauhnya. Di mana-mana, anak buah komplotan ini ada untuk meringkus penentang baik dari luar atau pun dari dalam kelompok. Pengkhianat bahkan dihukum lebih keji dari musuh. Paling manusiawi, setelah dibunuh dengan brutal, jasadnya akan dibuang ke laut. Aku pernah menjumpai pengkhianat yang dibakar hidup-hidup di hadapan seluruh anggota. Hal itu dilakukan sebagai pelajaran bagi lainnya agar tidak sekali-kali mengikuti jejak sang pengkhianat.

Dalam prinsip komplotan tersebut, pengkhianatan tidak akan termaafkan. Sebelum memutuskan bergabung di dalamnya, calon anggota akan disumpah untuk setia dan tidak akan keluar dari formasi. Apa pun yang terjadi. Seumur hidup. Keluar artinya berkhianat. Dan itu berarti mengundang malaikat maut.

Andai di pesantren Bang Hasan aku bisa bertahan lebih dari dua minggu saja, artinya mungkin mukjizat Tuhan nyata adanya. Aku cuma bisa berdoa, kalaupun aku tertangkap di pesantrennya, pesantren tersebut masih tetap berdiri kokoh. Serius, komplotan yang berurusan denganku bisa meluluhlantakkan pesantren itu semudah menjentikkan jari. Mengingat betapa seriusnya bahaya yang mengancamku, rasa bersalahku pada Bang Hasan kian menjadi. Seharusnya aku tidak pernah kembali pada lelaki ini. Aku selalu membuatnya susah. Aku selalu mengadu padanya dengan membawa masalah. Apalagi akan lebih banyak orang di pesantren nanti yang terkena imbasnya. Orang-orang yang tidak tahu apa-apa. Aku akan membuat pesantren Bang Hasan jadi kisruh dengan kehadiranku. Apa lebih baik aku batalkan saja niat untuk bersembunyi di pesantren Bang Hasan?

Kegalauanku teralihkan oleh hamparan sawah yang menghijau bertumpuk-tumpuk di sisi kiri-kanan jalan. Sekilas, sawah-sawah yang terbentang sejauh mata memandang itu terlihat bagai permadani. Sebentar lagi para petani akan menyambut pesta panennya. Ujung-ujung padi berayun-ayun ditiup angin, ditingkahi burung-burung yang mencericit mencari rezeki mereka. Pemandangan ini menyejukkan. Sedikit mendamaikan hati. Angin lebih kencang berembus, sesekali mengibarkan scarf bunga-bunga yang kupakai. Ada sepercik darah Pengkor di scarf berwarna nude kalem ini. Sengaja aku membuka jendela karena jangan harap ada AC di pick up butut kami. AC alami ini lumayan bisa mengusir gerah.

Kulirik sekilas Bang Hasan yang selama lima belas menit ini hanya diam. Rambutnya terlihat semrawut, wajahnya kusut masai. Aku tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya. Yang jelas, dia pasti sangat-sangat terguncang dengan kejadian tadi. Bisa kusimpulkan hal itu dari tangannya yang gemetaran memegang kemudi. Rasa bersalahku semakin menggunung. Orang seperti Bang Hasan pasti mengira peristiwa barusan hanya ada di cerita-cerita fiktif. Dia pasti baru pertama kali melihat pistol, mendengar senjata itu memuntahkan peluru dan menyasar tepat di tengkorak seseorang. Terlebih lagi, orang yang memegang senjata itu adalah aku. Adiknya.

"Turun!" Tiba-tiba Bang Hasan membuka suara. Tegas dan mantap.

Dia kemudian menepi, mematikan mesin pick up dan meraih tasbih bermanik-manik biru dari dashboard. Mulutnya lalu komat-kamit, matanya terpejam. Keringat sebesar-besar biji jagung berebut menyembul dari pori-pori pelipisnya.

"Demi Allah, kalau kamu memang bukan Hasana, turun sekarang juga! Atau aku akan bawa kamu ke polisi," ucapnya sejurus kemudian tanpa memandangku. Suaranya parau, tapi masih terkendali.

"A-apa maksud Abang?" Aku refleks menyerongkan tubuh, kini lurus menghadapnya.

Lihat selengkapnya