Aku sampai di Surabaya jelang senja. Langit yang bersaput warna oranye keabuan menjadi saksi kali pertama kujejakkan kaki di kota ini. Bus yang aku tumpangi sampai di pemberhentian terakhirnya di Terminal Purabaya. Meski berada di Kabupaten Sidoarjo, tepatnya di sebelah selatan Surabaya, terminal ini adalah yang paling besar di ibukota Jawa Timur itu. Luasnya mencapai 120.000 meter persegi dengan trayek umum meliputi bus kota, AKAP, juga AKDP.
Sambil berjalan mencari pintu keluar terminal, aku memindai kemungkinan untuk bekerja di lingkungan ini. Atau mungkin membuka usaha kecil-kecilan seperti warung tenda yang menyediakan kopi dan berbagai makanan ringan. Terminal pasti tidak pernah sepi pengunjung. Aku bisa mendulang pundi-pundi rupiah dari sini. Sementara itu, kedua mataku masih sembap karena hampir dalam separuh perjalanan air mata terus tumpah. Rasa sakit menggerogoti hati mengingat Ibu dengan ringannya melepasku pergi.
Bisa kulihat tadi seringai puas si Haryo, jemawa karena bisa memenangkan hati ibuku. Entah apa yang ada di pikiran Ibu hingga lebih memilih laki-laki setan seperti dia daripada mempertahankan anaknya. Meski dia menangis sambil menyerahkan seamplop uang sebagai bekalku di kota, aku tetap tidak bisa terima. Pasalnya, bukankah seharusnya Haryo yang angkat kaki dari rumah kami? Sungguh aneh rasanya sedikit punya rasa benci terhadap ibumu sendiri. Namun, di sudut hati aku berharap supaya Ibu cepat sadar bahwa suami barunya itu bukan lelaki yang baik. Semoga Bang Hasan bisa meyakinkan Ibu untuk segera berpisah dari Haryo. Lebih baik hidup menjanda daripada harus punya pasangan bejat seperti dia, bukan?
Dengan langkah gontai karena tak tahu harus pergi ke mana, aku mencoba bertanya pada satu dua orang pedagang kaki lima apakah ada kost di sekitaran terminal. Syukurlah, di daerah ini rupanya banyak persewaan kost. Dari yang murah sampai yang mahal juga ada, begitu kata ibu paruh baya yang berjualan kopi dan pop mie.
Sambil menenteng tas besar berisi pakaian dan berkas-berkas yang diperlukan untuk melamar kerja, aku meneguhkan hati. Sudah bulat tekadku untuk tidak pulang selagi masih ada lelaki bejat itu di rumah. Karena itulah, bagaimanapun caranya aku harus bisa hidup di atas kedua kakiku sendiri di kota besar ini. Mengikuti petunjuk si ibu kaki lima, tak perlu waktu lama kutemukan rumah kost sederhana. Dengan papan plang bertuliskan 'Terima Kos Putri 50 M', aku memasuki sebuah gang sempit dan sampailah di sini. Jaraknya dari terminal pun tidak cukup jauh. Mungkin sekitar 200 meter saja. Itu menguntungkanku karena aku jadi tidak perlu jauh-jauh untuk cari transport saat akan menjelajah kota, mencari kerja. Kalau dari terminal ke kost tidak mau capai jalan kaki, aku juga bisa naik angkot yang trayeknya melewati jalan kecil ini. Di sepanjang jalan kecil tersebut juga terdapat los-los pertokoan dan pasar yang tidak begitu besar.
Kostan tempatku akan menetap di kota ini entah sampai kapan, berbentuk selontrong rumah dengan kamar-kamar yang saling berhadapan. Kamar mandi dan toilet ada di bagian ujungnya. Aku mendapat satu kamar yang kebetulan kosong, nomor tiga dari ujung toilet. Sewanya yang lumayan murah membuatku tak perlu lagi berpikir panjang. Meski hanya sebuah ruangan berukuran 3x4 meter dengan sebuah kasur dan lemari, itu sudah lebih dari cukup.
Aku segera merebahkan tubuh di kasur kapuk yang sudah kempet dan seprainya berbau apak. Pikiranku melanglang buana ke mana-mana sebelum akhirnya rasa lelah membuatku kalah. Aku jatuh ke dalam tidur panjang pertama di kota yang kelak akan menorehkan banyak cerita dalam hidupku ini.
*
"Di sini lagi nggak ada lowongan, Mbak," tukas Pak Satpam berwajah sangar yang menjaga gerbang pabrik rokok.
Aku memaksakan senyum pada security tersebut meski dalam hati rasanya sesak sekali. Ini sudah sembilan tempat kerja yang kudatangi di hari pertama, dan semuanya menolak lamaranku---bahkan sebelum berkas tersebut mendarat di meja HRD. Aku memang ingin membuka usaha sendiri di terminal, tapi untuk itu aku perlu modal yang cukup. Sementara, uang yang diberi Ibu ditambah kalung pemberian Bapak, kupikir harus kugunakan dulu sebijak mungkin. Setidaknya aku harus punya pekerjaan tetap agar hidupku terjamin, syukur-syukur bisa disisihkan untuk tambahan modal jualan.
Aku menyeka peluh yang menetes akibat sengatan terik matahari. Sebegini susah ternyata, mencari pekerjaan meski di kota besar sekalipun. Modal ijazahku yang cuma SMA menjadi alasan yang sukses membuatku kesulitan. Padahal toh aku tak menginginkan kerja yang muluk-muluk, jadi cleaning service saja sudah cukup.
Akhirnya, di tengah keputusasaan karena sudah berputar-putar seharian dengan perut keroncongan dan kaki yang mulai lecet berkat sepatu pantofel, aku memutuskan untuk makan di warung. Pelayan yang mengantarkan pesanan melirik berkas lamaran yang kugeletakkan sembarangan di meja.
"Nyari kerjaan, Mbak?" tanyanya.
"Iya, Mas. Di sini ada lowongan nggak?" jawabku, basa-basi tanpa ekspektasi apa pun.
"Kebetulan di sini lagi cari petugas kasir, Mbak. Kasir yang sekarang mau resign soalnya."
Mataku membulat. Antusias. "Benar, Mas?"
"Iya, Mbak. Mbak coba saja masukin lamarannya, nanti dikasih saja sama petugas kasirnya pas bayar. Memang belum ada pengumuman yang ditempel sih, Mbak. Tapi sudah banyak yang tahu dan sudah ada yang ngelamar juga. Coba saja, Mbak, siapa tahu beruntung."
Aku menganggukkan kepala cepat-cepat, mengucapkan terima kasih banyak-banyak pada pelayan tersebut atas informasinya yang sangat berharga. Terima kasih, ya Allah, Kau memberi suntikan semangat di saat-saat akhir begini, batinku sembari menyuap nasi rames dengan lahap.
*
Takdir memang seringkali mengkhianati harapan. Kupikir, paling tidak setelah seminggu ada di sini, aku sudah akan memperoleh pekerjaan. Nyatanya, sampai dua pekan ini kabar gembira berupa panggilan kerja yang kunanti-nanti tersebut belum juga tiba. Sudah sebelas lamaran kerja berhasil kumasukkan ke berbagai tempat kerja selama setengah bulan ini.