Ternyata tidak.
Allah tidak mendengar. Dia bahkan seperti pergi begitu saja saat aku benar-benar butuh pertolongan-Nya. Menulikan ke-Maha Agungan-Nya. Di mana sifat rahman rahim-Nya? Apa salahku pada-Nya sampai Dia tega menuliskan takdir pahit tak terperi dalam hidupku ini? Kenapa Dia mengambil Bapak, membuat Ibu menikah dengan lelaki bejat, dan membiarkanku diperkosa beramai-ramai?
Kenapa?
Apa salahku pada Allah?
Beruntun pertanyaan-pertanyaan itu menggedor-gedor akalku selama berhari-hari. Entah bagaimana ceritanya setelah peristiwa tersebut aku berhasil kembali ke kostan. Mungkin aku berjalan terseok-seok dengan setengah kesadaran. Setengah telanjang. Atau mungkin ada orang baik yang menolongku.
Entahlah. Yang jelas, keesokan paginya aku terbangun di kamar kost yang sempit dengan seprai apak ini. Mataku terlalu silau saat mendapati sorot cahaya matahari menerobos kisi-kisi jendela. Bisa kurasakan nyeri yang menjalar ketika aku mengedipkan kelopaknya. Aku meringis. Rasanya sungguh menyakitkan.
Sementara itu, pikiranku buyar seperti tak mau bekerja. Otakku dengan keras mengingat-ingat kenapa tubuh ini rasanya sakit semua. Organ itu seperti ingin menghentikan memori tentang kejadian menyakitkan tersebut. Membuat benteng pertahanannya sendiri agar tak ada lagi ingatan traumatis yang bisa membuatku gila. Aku benar-benar bingung. Linglung.
Kelak, aku tahu hilang ingatan sementara tersebut memang nyata. Namanya amnesia disosiatif. Yang mana, otak memang memendam ingatan tentang kejadian traumatis yang dialami seseorang, di bagian paling dalam, sebagai upaya perlindungan diri agar orang tersebut lupa pada peristiwa itu. Kasus amnesia disosiatif ini berbeda-beda. Ada yang betul-betul tak ingat sama sekali pada peristiwa traumatis tersebut, dan kembali menjalani hidup dengan baik-baik saja. Ada pula yang teringat kembali karena terpicu oleh kejadian serupa.
Sialnya, kasusku masuk dalam kasus nomor dua. Aku sungguh akan senang jika tidak ingat sama sekali bahwa aku pernah diperkosa ramai-ramai oleh berandal keparat tersebut. Hingga, tiga hari setelah kejadian itu, jelang tengah malam saat aku sedang sibuk kembali menulis surat lamaran, aku mendengar teriakan-teriakan dari kamar sebelah. Perempuan pegawai minimarket yang tempo hari hendak kusambangi, berteriak minta tolong. Sesekali dia mengaduh. Menjerit. Lantas suara khas tamparan terdengar memecah area kost yang mulai sunyi. Kejadian itu berlangsung tidak sebentar. Aku juga mendengar bunyi kenop pintu yang dibuka paksa, tapi tak kunjung terbuka. Kutebak perempuan itu ingin pergi dari kamarnya, tapi tak bisa membuka pintu yang terkunci.
Penghuni kamar sebelah terus mengaduh. Suara tamparan juga terus terdengar. Namun, anehnya tidak ada penghuni kost lain yang berusaha menolong. Dari kaca jendelaku yang tidak bertirai, aku melihat penghuni seberang kamarku justru mematikan lampu kamarnya yang semula masih menyala. Mustahil dia tidak mendengar rintih pilu si perempuan.
Sementara aku? Aku semula sudah beranjak dari duduk dan berjalan ke arah pintu. Namun, begitu aku memegang kenop untuk membukanya, tepat saat perempuan itu merintih, "ya, Allah," tubuhku seketika membeku. Langkahku tercekat. Irama jantung yang semula normal, perlahan berdegub cepat dan cepat. Aku didera rasa cemas luar biasa. Ketakutan tiba-tiba merambati punggungku, hingga perlahan menguasai seluruh tubuh. Tanganku gemetaran. Bibir terkatup rapat. Keringat sebesar-besar biji jagung menyembul dari pori dahiku.
Kemudian, semuanya terekam jelas dalam ingatan. Otakku tak lagi bisa menahan agar memori itu tak muncul ke permukaan. Hujan deras sore itu. Interview di rumah makan itu. Ketiga preman berandal itu. Dan ...
Aku menggigil. Tubuhku ambruk memerosot di balik daun pintu yang tidak jadi kubuka. Aku meringkuk di sana entah berapa lama, sambil melindungi tubuhku seolah ada tangan-tangan mesum yang akan sembarangan menjamahnya. Perempuan kamar sebelah berteriak. Terisak. Bedanya, dia kini tidak sendiri. Aku juga ikut terisak bersamanya.
"Tidak!" erangku frustrasi. "Tidak!"
Kini, aku bisa menyimpulkan penyebab bekas lebam ungu kebiruan yang ada di pergelangan tanganku, yang kemarin kuasumsikan hanya lebam karena kecapaian. Sekarang aku ingat betul bagaimana lelaki-lelaki setan itu memiting tangan ini, menekannya, begitu kuatnya.
Kupaksakan diri untuk bangun, lalu beranjak mengaca ke cermin kecil yang tergantung di dinding untuk melihat bagaimana rupaku saat ini. Memar-memar di wajah yang nyerinya masih terasa, yang kemarin sungguh kulupa apa sebabnya, kini berbicara. Kemudian, seluruh bagian tubuhku seolah serempak memberi kode. Menyegar bugarkan ingatan menyakitkan itu. Kepalaku terasa berdenyut-denyut. Area genitalku sungguh terasa sakit, hingga untuk berjalan pun aku harus mengangkang.
Kuamati raut wajah yang terpantul di cermin. Air matanya mengalir, melewati lebam-lebam yang membuat kecantikannya tak bersisa.
Ya, Allah.
Aku tergugu. Inilah wajah itu. Wajah tak berdaya, wajah lugu perempuan lemah yang hanya bisa mengerang saat lelaki-lelaki setan menggerayanginya. Sekonyong-konyong kurasakan kemarahan yang menggelegak. Rasa jijik yang menggelegak. Jijik pada diriku sendiri!