Menjadi pencopet rupanya tidak begitu buruk. Aku jadi menyesal kenapa tidak melakukan ini lebih awal. Kenapa harus mati-matian mencari kerjaan halal yang susah sekali. Kenapa harus menunggu diperkosa lebih dulu untuk menyadarkan kalau uang haram rasanya juga sama saja. Benar. Memang apa bedanya? Kalau ditukar dengan makanan juga rasanya sama. Makanan yang kau beli tidak akan meracunimu meskipun belinya dengan uang haram.
Malah untuk mendapatkannya lebih mudah. Bayangkan saja jika aku bekerja sebagai kasir rumah makan, paling tidak aku hanya akan punya uang sebulan sekali pas gajian. Dengan mencopet begini, setiap hari aku bisa dapat uang. Ya, meski jumlahnya untung-untungan saja. Kadang sedikit, tapi kalau pas hoki tak jarang aku bisa beli ini itu dengan sekali beraksi. Setelah jadi pencopet aku baru tahu kenapa di negeri ini banyak sekali koruptor. Kerjanya gampang! Tinggal ambil saja. Dan hasilnya banyak. Siapa yang tidak ketagihan? Koruptor dan pencopet atau pencuri itu sama saja, bukan?
Tentu saja saat pertama kali beraksi, aku gemetaran. Takut. Batinku juga berperang hebat. Aku tahu, kelakuanku ini pasti akan sangat mengecewakan Bapak dan Bang Hasan. Namun, setelah kupikir-pikir kembali, Bapak toh sudah tidak ada. Begitu pula Bang Hasan. Mereka tidak ada di sini untuk menjamin hidupku. Cuma diriku sendirilah yang saat ini bisa kuharapkan. Ditambah perut keroncongan dan sisa uang di dompet yang sekarat, aku tidak bisa lagi menunggu.
Kutepis semua keraguan. Juga sebersit perasaan takut dosa yang terus menggentayangi. Demi mempertahankan hidup, bagaimana aku bisa mempertimbangkan dosa? Akhirnya, aku pun menjejalkan diri di antara penumpang bus yang penuh sesak pagi itu. Memindai satu per satu penumpang yang kutaksir bisa dijadikan mangsa. Dalam arti, dompetnya benar-benar tebal dan bisa kuandalkan. Ya, masa aku sudah susah payah mencopet tapi harus dapat uang pas-pasan? Tidak sebanding dengan dosanya, kan? Lagi-lagi 'dosa' terasa membebani.
Haha! Aku menyeringai. Setan di telinga berbisik demikian kerasnya. Masa bodo dengan dosa, Hasana! Toh Tuhan sendiri yang membuatmu begini, katanya. Toh, saat ini aku juga sudah memutuskan untuk tidak lagi mengenal Tuhan!
Akhirnya mangsa pertamaku jatuh pada bapak-bapak setengah baya yang dompetnya menyembul di saku celana bagian belakangnya. Dasar ceroboh! Apa dia tidak tahu berapa persen tingkat kejahatan di kota-kota besar seperti ini? Tanpa pikir panjang, aku segera memepet pria yang hanya dipisahkan beberapa penumpang lain dariku. Saat sudah berada tepat di belakangnya, rasa panas dingin menyerang tubuhku. Semacam demam panggung, kau tahu? Jantungku berdentam-dentam tak beraturan hingga membuat telingaku memanas.
Ada rasa kasihan pada bapak-bapak ini. Bagaimana jika hal itu terjadi pada bapakku, bagaimana jika hanya uang di dompet tersebut yang dia miliki, dan masih banyak bagaimana jika-bagaimana jika lain yang berseliweran di benakku. Keraguan kembali menghampiri. Apakah benar aku akan mencopet? Tapi, lagi-lagi setan di dada riuh bercengkerama. Ya, aku harus melakukannya! Memangnya ada pilihan lain? Peduli apa dengan orang yang tidak aku kenal.
Kutelan ludah susah payah. Mataku melirik ke kanan ke kiri sementara tanganku mulai bergerak perlahan. Sangat pelan. Hingga, saat kuyakin tak ada penumpang lain yang melihatnya ... hap! Aku berhasil meraih dompet si bapak. Dengan gerakan tanpa suara, kutarik dompet kulit berwarna cokelat tua itu dari sakunya. Tiba-tiba bus mengerem mendadak. Penumpang saling mengeluh karena yang berdiri berdesakan jadi saling bertabrakan. Termasuk aku yang tanpa sengaja jadi mendesak tubuh si bapak. Namun, hal itu ternyata justru menguntungkanku. Gerakanku mengambil dompet si bapak jadi lebih mudah. Begitu bus melaju kembali, aku menyeruak di antara penumpang yang berdiri berdesakan untuk turun di pemberhentian berikutnya. Dompet cokelat tua tersebut sudah berpindah ke saku kemeja kotak-kotakku yang kedodoran.
*
Setelah mengambil uang hasil berburu, aku selalu membuang dompetnya di tempat sampah di sekitar terminal. Aku masih punya sedikit belas kasih dengan harapan agar dompet tersebut ditemukan pemiliknya. Yah, setidaknya, meski dia kehilangan uang, tapi identitas diri dan kartu-kartu penting tidak ikut raib.
Seolah menjadi kebiasaan baru yang berkelanjutan secara otomatis, setiap selesai bekerja aku mampir di warung kaki lima. Barang melepas penat sejenak dengan minum es teh dan makan nasi rames. Lama-lama, aku punya warung langganan yang akhirnya, pemiliknya menjadi salah satu relasi---kalau bisa disebut begitu.
Warung tenda langgananku adalah warung Mang Ojak. Meringkuk di pojokan Terminal Purabaya dengan modal tenda biru yang sudah bolong-bolong, gerobak yang catnya sudah kusam sekali, juga bangku panjang untuk pelanggan jika tidak ingin duduk lesehan di gelaran tikar. Warung ini lebih mirip angkringan. Yang membuatku betah adalah posisinya yang berada tepat di bawah pohon beringin. Embusan angin terminal, meski terasa gersang, sepertinya jadi daya tarik sendiri sehingga warung Mang Ojak selalu ramai.
Spesialnya, Mang Ojak tahu kalau aku adalah seorang pencopet. Dari codet di pipiku, katanya. Dan dia tidak keberatan menerima uang haramku, meski mengaku juga akan dimarahi istrinya jika sang istri tahu.
Siang itu, seperti biasa aku sedang menyantap nasi rames dengan tangan kiri memegang tempe goreng tepung. Warung Mang Ojak sedang sepi. Tiba-tiba, kekhusyukanku menikmati nasi rames terusik dengan kedatangan tiga orang pemuda. Nafsu makanku mendadak lenyap. Aku menurunkan topi kumal yang kupakai sampai menutupi mata. Menunduk.
Tiga pemuda tersebut bukan orang sembarangan. Mereka adalah berandalan yang membuat hidupku jadi berantakan seperti ini. Ya, bajingan itu! Yang merudapaksaku ramai-ramai di bawah hujan. Di selasar pasar. Rasa muak dan amarah luar biasa sekonyong-konyong menguasaiku. Rahangku mengeras menahan gigi yang bergemeletuk mengertak. Tanganku mengepal, ingin sekali meninju wajah mereka satu per satu. Apalagi, saat tiga setan tersebut semringah tertawa-tawa sambil memalak Mang Ojak.
"Woy, Tua Bangka! Mana jatah kita?" Gertak salah satu dari mereka, yang masih kuingat betul dialah yang merobek tunikku hingga koyak. Tangannya bebas meraih gorengan hangat yang baru mentas dari wajan.