Waktu melesat bagai anak panah yang membidik buruannya. Tak terasa, aku sudah merantau lima bulan lamanya. Artinya, aku juga sudah menjadi pencopet selama itu. Sampai saat ini, profesiku tidak menemui kendala yang berarti. Entah sudah berapa dompet yang berhasil kucolong. Mencopet kini sudah menjadi kebiasaan alih-alih pekerjaan.
Herannya, dulu kupikir semakin lama aku menggeluti dunia kelam ini, akan semakin gencar bayangan dosa merantai hati. Namun, ternyata dugaanku salah. Justru, semakin hari aku semakin menikmati apa yang kukerjakan sekarang. Dosa? Apa itu dosa? Cuma bualan orang-orang sok suci untuk menakut-nakuti orang lain saja. Padahal toh ujung-ujungnya sama, mereka melakukannya juga demi uang. Hanya saja, mereka menjual dogma agama dengan pakaian kebesaran yang menandakan seolah-olah diri mereka jauh dari dosa. Padahal, ya, siapa yang tahu isi hati? Siapa yang tahu apa yang mereka lakukan saat sedang sendiri? Cih!
"Pagi, Mang." Aku menyapa Mang Ojak dengan riang. Pukul delapan pagi, Mang Ojak baru buka.
Pria itu terpana sejenak sebelum menyadari bahwa akulah yang menyapanya.
"Tumben, Neng. Pagi-pagi sekali," katanya.
Aku terkekeh. Betul, jarang aku beroperasi sepagi ini. Biasanya juga habis dhuhur baru mulai. Entah, rasanya hari ini ingin memulai lebih pagi sehingga bisa pulang lebih awal juga. Meskipun, sebenarnya aku bisa pulang kapan saja semauku. Aku kan, bukan cungpret-cungpret pekerja kantoran yang terjadwal jam kerjanya. Hanya saja, kadang-kadang kita perlu mengubah ritme agar tidak bosan, kan?
"Kata orang kan, bangun pagi biar rezekinya gak dipatok ayam, Mang. Mungkin saja ada milyarder yang nyasar di terminal ini pagi-pagi. Pasti dompetnya tebal," kelakarku.
Mang Ojak hanya menanggapi dengan tertawa riang. Dia membenahi pecinya sebelum cekatan menyiapkan nasi rames untukku.
"Biasa, ya, dada ayam goreng?" tanyanya.
Aku mengangguk.
Rupanya suasana terminal pagi hari agak berbeda. Hiruk pikuknya tidak seramai siang hari. Cuacanya juga tidak begitu panas. Bus-bus AKAP dan AKDP masih banyak yang teronggok diam menunggu sang sopir yang masih enak-enak ngorok untuk dipanasi. Atau, beberapa kernet yang rajin sedang sibuk di bawah bus entah sedang mengotak-atik apa. Sopir-sopir lainnya yang tidak tidur dan tidak sibuk dengan busnya, sedang nikmat menyantap sarapan atau menyesap puntung rokok mereka. Ada juga yang lagi ngopi sambil main catur dengan sopir lain, atau memanfaatkan waktu senggang untuk kegiatan MCK.
Tak sedikit juga yang sedang berlomba menggoda Mbak Denok, pemilik warung tenda semlohai---yang kata Mang Ojak---warungnya paling ramai seantero terminal. Aku pernah sekali makan di warung tendanya, dan jadi tahu kenapa warung Mbak Denok bisa seramai itu. Dia tidak hanya menjajakan dada ayam, tapi juga dadanya. Yah, kau tahu maksudku, kan?
"Ini, Neng." Mang Ojak membuyarkan lamunanku. Aroma khas nasi ramesnya segera menubruk hidung dan membuat perutku berkeruyuk nyaring. Tanpa ba-bi-bu, aku segera menyantap sarapan.
"Masih sepi ya, Mang, kalau jam segini?" Aku membuka percakapan sementara Mang Ojak meracik bumbu gorengan.
"Sepi, Neng. Tapi sebentar lagi ramai, kok. Jam sembilan biasanya bus-bus sudah datang dan pergi," jawabnya. "Tunggu saja di sini sebelum operasi." Pria itu nyengir penuh arti.