"Terus apa yang terjadi?" Bang Hasan membuka mulut setelah sejak tadi takzim mendengar kisahku. Pikiranku yang semula melanglang buana ke enam tahun lalu, kini kembali mendarat di pick up butut ini.
Entah sudah berapa lama kami berjalan, aku bahkan sampai terbawa suasana gara-gara bercerita panjang lebar pada Bang Hasan. Meski, sebenarnya ceritaku baru sampai setengahnya saja. Sisanya---termasuk alasan yang membuatku berada di samping Bang Hasan sekarang---masih cukup panjang.
"Na? Setelah itu dua pria tadi ngapain kamu?" Kulihat raut wajah Bang Hasan yang menegang.
Aku tertawa.
"Kenapa kamu ketawa?" gertak abangku tersebut.
"Bang Hasan gak perlu khawatir. Aku diperlakukan dengan sangat baik oleh dua pria itu. Dijaga benar-benar supaya tidak lecet." Niatku hanya bercanda, tapi kedengarannya justru suram sekali. "Semua orang di basecamp Master Don memperlakukanku seperti puteri, Bang. Tidak ada yang berani menyentuhku. Abang bisa bernapas lega sekarang," lanjutku, sambil tersenyum penuh arti padanya.
Bang Hasan mengernyit. "Jadi dua pria itu membawamu ke Master Don?"
Aku mengangguk. Potongan demi potongan ingatan tersebut kembali berputar di memori otak. Tanpa bisa membendungnya, mulutku pun sudah kembali fasih bercerita.
*
Aku terbangun dengan bingung dan linglung. Kepalaku berat sekali. Kukerjap-kerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaran, tapi yang kudapat hanya seisi ruangan yang terasa berputar. Di mana aku? Kedua mataku langsung nyalang dan memindai setiap sudut ruangan. Ruangan ini remang-remang, satu-satunya penerangan adalah lampu neon kuning yang menyakitkan mata. Temboknya penuh dengan coret-coretan dan gambar-gambar mesum. Sementara, di lantainya berserakan botol-botol miras dan kulit kacang yang dirubung kecoa. Ruangan ini cukup luas, bahkan lebih luas dari kamar kosku. Tak ada ventilasi sama sekali di sini, hanya satu akses pintu keluar masuk yang tertutup rapat. Pengap. Apa ini semacam gudang?
Kucoba gerak-gerakkan tubuh sebelum sadar betul bahwa aku tidak bisa bergerak. Baru, setelah nyawaku sepenuhnya kembali, aku merasakan ikatan kencang yang melilit pergelangan tangan juga kakiku. Tubuhku terduduk lunglai di bangku kayu, dengan tangan terpelintir ke belakang, ditambah pergelangannya yang diikat kencang dengan tali tambang.
Refleks, aku mencoba melepaskan ikatan tersebut dengan jari-jemari meski hasilnya nihil. Aku memberontak. Ini sungguh bukan kondisi yang baik. Pertama aku dibius, lalu dibawa ke tempat ini, sekarang diikat, dan sendirian. Apa yang orang-orang itu inginkan dariku? Aku harus keluar dari sini! Pikiranku mulai kalut. Kata Mang Ojak, mereka adalah bos preman yang bisa melakukan apa saja. Aku sungguh takut sekali jika mereka menodaiku seperti yang dilakukan preman pasar itu.
Kucoba lagi melepaskan ikatan tanganku, tapi yang ada, tambang ini malah menjerat pergelanganku semakin erat, sampai perih semua rasanya. Aku ingin berteriak minta tolong, tapi setelah kupikir lagi, mungkin itu adalah tindakan bodoh. Bagaimana kalau orang-orang Master Don ada di luar dan mendengarku sudah sadar? Belum lagi, bagaimana jika tempat ini terletak di tengah-tengah hutan misalnya, siapa yang akan mendengar teriakanku? Yang ada, aku malah akan mengundang masalah lebih cepat.
Masih belum menyerah untuk melepaskan jerat, tiba-tiba pintu berkeriut. Terbuka. Dan seorang pria kekar, tinggi besar, masuk. Pria ini bukan salah satu di antara pria yang membiusku. Dia tidak serapi mereka yang mengenakan kemeja licin. Penampilan yang satu ini lebih menyerupai bodyguard.