HASANA (Jalan Hijrah sang Gadis Mafia)

Ayu Fitri Septina
Chapter #12

12 - Putus Asa

"Apa?" Bang Hasan terbatuk-batuk karena tersedak kopi susu yang sedang diseruputnya.

Kami menepikan pick up di sebuah minimarket yang menjamur di mana-mana, dengan maskot lebah berkaus merah bertuliskan 'Albi.' Langit senja bersaput awan-awan keabuan yang menyelimuti perjalanan kami membuat Bang Hasan yakin bahwa waktu maghrib telah tiba, meski dari tadi kami tidak menjumpai masjid yang mendengungkan azan. Bang Hasan memutuskan berhenti di minimarket tersebut untuk membeli makanan dan minuman. Iftar. Untungnya, di sana juga ada mushola.

"Jadi maksud Master Don memintamu bergabung itu buat apa, Na?" Sambung abangku itu setelah batuk-batuknya reda.

"Master Don sudah sejak lama ingin punya anggota perempuan yang seumuran dengan anaknya, Bang. Pria itu cukup sentimentil. Tapi tentu susah sekali mendapat perempuan muda yang mau jadi mafia. Saat aku setuju untuk bergabung dengannya, kupikir ekspresi senangnya cuma pura-pura. Ternyata tidak. Dia benar-benar memperlakukanku seolah aku ini anaknya. Pistol kesayangannya sampai-sampai diberikan juga padaku. Dia juga beberapa kali menyinggung soal pewarisan seluruh bisnis besarnya padaku kalau dia meninggal nanti." Aku memelankan suara saat mengatakan 'pistol'.

Kedua mata Bang Hasan menyipit seperti menyimpan rasa curiga. Namun, alih-alih bertanya lagi, dia justru menyantap roti sobek isi cokelat yang baru dibelinya. Aku tersenyum menyaksikan Bang Hasan makan dengan lahap. Sejak awal perjumpaan kami, baru pada momen ini dia terlihat seperti Bang Hasan yang dulu kukenal.

"Abang puasa Senin-Kamis?" ujarku, bermaksud menghilangkan kecanggungan. Bertemu dalam keadaan tak mengenakkan seperti ini setelah sekian tahun cukup membuat kami kikuk.

"Alhamdulillah," jawab Bang Hasan sekenanya. "Kita salat dulu sebelum lanjut, ya Na," sambungnya sambil beringsut dari kursi besi yang mengitari meja bundar di pelataran minimarket.

"Oh, itu...," Aku menelan ludah. "Anu, Bang, aku masih halangan. Abang saja sendiri, ya. Aku tunggu di sini."

Tentu saja aku berbohong. Untungnya Bang Hasan percaya begitu saja. Dia kemudian berlalu dari hadapanku tanpa berkata apa-apa, meninggalkanku yang agak terbengong-bengong karena berpikir, 'apakah abangku memang sepolos itu? Hei, dia baru saja mengajak seorang pembunuh berdarah dingin untuk salat. Bukankah itu kedengarannya seperti dua dunia yang berbeda?'

Untuk sejenak aku terpaku. Otakku seperti terlambat mencerna semuanya. Di awal, yang kupikirkan hanyalah bagaimana cara supaya aku bisa selamat dari incaran Master Don. Aku lupa bahwa tempat yang akan kujadikan tempat berlindung adalah pesantren. Bukankah itu artinya aku akan berlari pada Tuhan? Hhh ... aku mendesah. Bukannya aku sudah memutuskan untuk tak pernah lagi mengenal-Mu? Hatiku berdebat riuh.

*

"Apa itu adalah caramu menghukum Ibu, Na?" Bang Hasan memulai percakapan. Aku, dia, dan si pick up butut sudah kembali melanjutkan perjalanan. Semilir angin malam yang sepoi perlahan masuk melalui jendela yang sedikit kubuka.

"Apa maksud Abang?" Aku balik bertanya.

Bang Hasan mengklakson motor matic yang ditumpangi dua sejoli yang berjalan pelan sekali sembari bercengkerama mesra. Yang perempuan mendekap erat cowoknya, dadanya menempel pada punggung si cowok yang senyam-senyum keenakan. Mereka mungkin lupa kalau ini jalan umum, bukan hanya milik berdua.

Lihat selengkapnya