Bukannya aku tidak pernah memikirkan Ibu atau Bang Hasan. Mungkin, dalam enam tahun terakhir, wajah mereka berjuta kali mampir ke memoriku saat aku beranjak tidur. Bahkan, tidak jarang pula wajah mereka terbayang saat aku sedang menodongkan pistol pada mangsaku dan berkata jangan lakukan ini, Na. Andai Bang Hasan tahu bahwa alasan itu juga yang membuatku berada di pick up bututnya saat ini.
Aku mengurut kening yang mendadak terasa berdenyut-denyut. Mendengar Bang Hasan bilang bahwa ternyata hidupku enak di kota hingga melupakan mereka sungguh menyakitkan. Apa dia pikir kalau aku punya pilihan, aku mau menjalani hidup seperti ini? Diperkosa ramai-ramai, kemudian jadi pembunuh, dan pada akhirnya diburu oleh bos mafia? Yang benar saja. Namun, alih-alih mendebatnya, aku lebih memilih diam. Aku tidak ingin memperkeruh suasana.
Hal itu juga yang mencegahku untuk menghubungi mereka. Selain karena ponsel setiap anggota disadap oleh teknisi kami---untuk memastikan bahwa kami tidak berkomunikasi dengan musuh, berkhianat---yang lebih menjadi beban adalah karena keadaanku saat itu. Mana mungkin aku menelepon Ibu dan bilang, aku diperkosa Bu, dan sekarang jadi pembunuh bayaran. Atau apa aku harus berbohong? Sampai kapan? Selain itu, rasa sakit hati pada Ibu yang melepasku pergi begitu saja juga masih sedikit menggelayuti hati.
Sebenarnya, dengan tidak menghubungi Ibu atau Bang Hasan juga berarti aku telah melindungi mereka. Itulah beberapa sebab yang jika meminjam istilah Bang Hasan disebut 'tega.' Memang, aku berniat melupakan mereka karena dilihat dari sisi mana pun, kehidupan kami sekarang sudah sangat berbeda. Mereka tidak akan bisa memahamiku.
"Ibu kena komplikasi, Na. Gulanya tinggi, tekanan darahnya tinggi. Sekarang Ibu sudah tidak bisa bekerja berat lagi. Tubuhnya prak-prek. Dua hari sehat, tiga hari berikutnya sakit. Begitu terus." Bang Hasan mengusap wajahnya yang dibayangi mendung.
"Ka-kalau begitu, siapa yang merawat Ibu di rumah, Bang?" Setelah terdiam karena syok dan berusaha mencerna semuanya, aku pun buka suara.
"Kamu masih ingat Rini, anak Pak Mahmud itu?"
Aku mengangguk. "Rini yang dulu sekelas sama Abang, kan?"
"Iya. Dia yang sekarang merawat Ibu. Aku pulang setiap dua minggu sekali. Rencananya aku juga akan segera keluar dari pesantren, Na."
"Kok bisa Rini mau merawat Ibu? Aku belum paham, Bang."
Dapat kulihat sedikit rona yang terpancar dari wajah Bang Hasan saat dia dengan pelan menjawab, "Iya, Na, Rini sekarang jadi kakak iparmu. Kami sudah menikah setahun yang lalu."
"Apa?" Reflekku sembari menutup mulut, menahan senyum. "Kita sudah ngobrol ke sana kemari selama berjam-jam dan Abang baru memberitahu kabar gembira ini?" Sekarang aku benar-benar tersenyum lebar. Aku turut senang mendengar kabar membahagiakan di antara serentetan fakta kelam yang harus kuhadapi.
"Selamat ya, Bang. Rini gadis baik. Abang dan dia sama-sama beruntung." Tiba-tiba suaraku tercekat di kerongkongan. Ada setitik air yang menyembul di kelopak mata, entah apa sebabnya. Aku terharu.