"Jadi kenapa kamu akhirnya memutuskan kabur dari Master Don, Na?" Bang Hasan kembali membuka percakapan setelah lengang yang menggantung di antara kami menimbulkan kesan mengganjal.
"Abang mau dengar cerita lengkapnya sekarang?" tanyaku.
Bang Hasan mengangguk. "Di pesantren nanti kita tidak akan banyak bertemu apalagi bisa ngobrol seperti ini. Kamu akan ditempatkan di asrama pengurus putri, Na. Aku sudah bilang Bu Nyai kalau adikku akan datang untuk bantu-bantu dan ngaji ilmu agama. Kebetulan asrama putri sedang butuh staf tambahan."
Penjelasan Bang Hasan membuatku limbung. Astaga, apa benar aku akan tinggal di pesantren? Tinggal dekat sekali dengan Tuhan? Ngaji ilmu agama katanya? Apa aku tidak akan terbakar seperti di film-film? Pikiran konyol melintas di benakku. Semoga semua ini tidak berlangsung lama. Begitu situasi aman, aku akan pergi.
"Aku harap kamu sudah meninggalkan sisi gelapmu di sungai tadi, Na. Ikut terbuang bersama pistolmu itu. Tolong bersikap baiklah di pesantren." Bang Hasan berkata tegas dengan sorot mata yang nyaris bisa membunuhku. Aku mengangguk lemah.
*
"Hebat, hebat!" Master Don bertepuk tangan, kegirangan seperti bocah saat melihatku berhasil menembak objek buatan bergerak dalam waktu dua puluh detik saja. Keenam objek tersebut tumbang tanpa sisa.
"Kubilang juga apa, anak ini berbakat sekali. Berbakat jadi penjahat, hahaha! Lihat, Pengkor, rekor kau dikalahkan sama perempuan! Pergi saja kau ke laut!" teriak Master lantang sambil menunjuk Pengkor yang mukanya sudah merah padam.
"Sialan! Aku terpaksa harus menyerahkan pistol kesayangan ini untuk kau, Aileen! Sesuai janjiku." Master Don menimang-nimang pistol colt kesayangannya sejenak sebelum mengulurkannya padaku. Jauh-jauh hari dia memang sudah bilang akan memberikan pistol tersebut padaku jika aku bisa memenuhi ekspektasinya. Aku menerimanya dengan takzim dan rasa hormat yang sangat tinggi.
Pengkor melirikku dengan ekor matanya, dan aku menyeringai pada pria botak itu. Kami baru saja beradu kemampuan dengan guru menembak yang didatangkan Master Don khusus untuk melatihku. Di markas, kami punya area-area untuk berlatih. Salah satu area terluas dengan teknologi mutakhir berupa sasaran-sasaran hologram bergerak adalah area menembak. Dalam pertandingan tadi, Pengkor butuh tiga puluh dua detik untuk menumbangkan objek bergerak yang jadi sasaran kami.
"Bagus, Aileen! Dengan rekor ini kau sudah bisa ikut kerja. Kau sudah siap memangsa penjahat-penjahat berdasi yang tak tahu diuntung itu. Cih!" Master Don meludah sambil membanting cerutunya yang sudah habis.
Mata tua itu kemudian nyalang menatapku. Memindai inci per inci tubuhku sehingga membuatku risih sendiri.
"Tunggu dulu," katanya dengan pandangan yang tetap tertuju padaku. "Ada yang kurang oke dari kau, Aileen. Codet kau itu! Hilangkan!"
"Ba-bagaimana caranya, Master?" Aku mencicit.
Kalau Master Don sudah bertitah, siapa saja segan menatap apalagi membantahnya. Pria tua ini biar bagaimanapun sudah makan asam garam di dunia hitam yang cukup untuk membuat siapa saja gentar. Reputasi Master Don sebagai pimpinan gembong mafia sudah tidak perlu diragukan lagi. Keluarga mafia kami adalah salah satu yang terbesar di Nusantara, dengan bisnis-bisnis ekspor-impor ilegal yang menggurita di berbagai belahan dunia.
"Gampang sekali itu, tak usah kau tanya! Hahaha! Pengkor, kau hubungi Salem, biar dia yang carikan solusi untuk masalah ini."