Tiga tahun berikutnya berlalu bagai lesatan peluru. Cepat sekali. Sekarang, Aileen jadi orang super sibuk dalam keluarga mafia ini. Selain melaksanakan misi-misi pembunuhan khusus, aku juga harus menyelesaikan skripsi S1-ku. Selain itu, Master Don juga semakin besar menaruh kepercayaannya padaku. Beberapa bisnis penting seperti pencucian uang dan selundupan narkoba, dia serahkan padaku untuk mengurusnya.
Kepercayaan Master Don tentu tidak kudapatkan secara cuma-cuma. Pria tua itu baru benar-benar mempercayaiku setelah aku bertaruh nyawa untuknya. Suatu waktu, ada serangan musuh yang mendadak di markas. Sementara, hampir semua anggota kami sedang menyelesaikan pekerjaan di luar. Hanya ada aku, beberapa anak buah Pengkor, juga para pembantu yang ada di basecamp. Singkatnya, itu adalah pertempuran hidup mati. Master Don sudah benar-benar terjepit saat itu hingga aku muncul dan berhasil menyelamatkannya.
Setelah kejadian tersebut, Master Don mengumumkan pada seluruh anggota bahwa akulah kelak yang akan menjadi pemimpin mereka jika dia sudah tiada. Hatiku menggelembung. Bagaimana tidak, semuanya seperti mimpi yang terwujud. Aku akan menjadi pemimpin bagi para lelaki ini! Namun, sejak saat itu pula, Pengkor tak mau bicara denganku. Gelagat pria botak itu seperti akan jadi musuh dalam selimut jika benar aku yang menggantikan Master Don. Aku harus berhati-hati.
*
Gelar sarjana berhasil kuraih. Ada rasa bangga dan haru yang melesak di dada saat upacara wisuda dilaksanakan. Master Don langsung yang menghadiri wisuda itu dengan mengaku sebagai ayahku. Saat kuncir togaku dipindah dan tangan ini menerima ijazah, aku turun dari atas panggung dengan mata berkaca-kaca. Betapa aku sudah melangkah sangat jauh. Meninggalkan desaku, kehidupanku yang lama, Ibu, Bang Hasan ...
Ibu. Tenggorokanku tercekat saat mengingatnya. Setengah hatiku berharap, dia dapat menyaksikanku mengenakan toga. Menjadi sarjana. Entah kenapa, beberapa bulan terakhir wajah Ibu sering terbayang di pelupuk mata. Membuatku risau. Jauh sebelum mataku terlelap tidur, aku jadi sering memikirkannya. Apakah dia baik-baik saja? Apakah bapak tiriku yang bejat itu masih bersamanya?
Kadang, muncul dorongan yang sangat kuat untuk menghubungi Ibu atau Bang Hasan. Beruntung, kesibukanku bisa mengalihkanku dari keinginan itu. Tak ada gunanya menelpon mereka. Lagi pula, saat ini Hasana telah tiada, bukan? Akan lebih baik mereka mengira begitu, daripada tahu bahwa aku masih hidup dalam keadaan seperti ini.
Kerinduan pada keluarga segera tersingkirkan dengan masalah baru. Master Don yang baru saja ingin mendirikan bank milik kami sendiri---sebagai sarana cuci uang yang legal---menjumpai kendala soal lahan. Akhirnya, kami menyuap bupati setempat agar mau tidak mau membebaskan lahan tersebut untuk bisnis baru kami. Dalam kasus penyuapan itu, kami bekerja sama dengan perusahaan besar yang juga punya kepentingan dengan penggunaan lahan. Tetap saja, Master Don lah yang punya andil paling besar dalam kasus tersebut.
Nahasnya, baru-baru ini berhembus kabar bahwa bupati yang bersangkutan tertangkap karena kasus suap. Terancam membuka mulut dan menyeret Master Don dalam kasus hukum, tim profesional kami menyelidiki asal muasalnya. Rupanya, seorang penyidik senior KPK lah yang berhasil mengungkap kasus sang bupati. Tanpa pikir panjang, kami terus menguntit penyidik sialan itu. Mencari kesempatan yang tepat untuk menghabisinya.
Rupanya, dia memang benar-benar penyidik senior yang sudah banyak mengungkap kasus-kasus besar di Komisi Pemberantasan Korupsi. Paling tidak, tercatat enam kasus besar yang sangat rapi dan akhirnya terkuak, termasuk licinnya korupsi e-KTP dan dana wisma atlet. Catatan kasus tersebut pasti membuat para elit yang terlibat di dalamnya sangat geram pada satu penyidik ini. Mereka harus berterima kasih karena kami berniat menyingkirkannya bukan hanya dari KPK, tapi dari dunia.
Sebelum itu, Master Don ingin membuat si penyidik kapok agar tidak pernah mencampuri urusan orang lain dan jadi sok suci. Master mengirim dua oknumnya untuk memberi pelajaran pada penyidik senior tersebut, yakni menyiramnya dengan air keras. Namun, nahas lagi, nasib memang sedang tidak berpihak pada kami. Alih-alih berhasil membuatnya jera, dua oknum kami malah tertangkap karena memilih waktu yang bisa kusebut goblok saat melakukan aksinya. Mereka menyiramkan air keras ke wajah sang bapak penyidik tepat ketika dia keluar masjid usai melaksanakan salat subuh. Berkat air keras tersebut, mata si bapak penyidik harus dioperasi meski tidak sampai buta dua-duanya.
Beruntungnya, setelah kasus ini sempat membuat geger Nusantara, dengan uang pelicin dan sistem hukum negara yang memang nyeleneh, dua oknum kami bisa dibebaskan. Mereka berkelit dengan dalih tidak sengaja melakukan tindakan tersebut pada bapak penyidik. Begitu saja, dan mereka mendapat keringanan hukum. Kalau mau dipikir lebih jauh, entah siapa yang lebih pantas disebut goblok di sini, hakim penentu atau tersangkanya. Pikir saja, mana ada orang membawa-bawa air keras subuh-subuh, lalu menyiramkannya ke muka orang lain dengan alasan tidak sengaja?
Sungguh tolol! Tapi, ya sudahlah. Aku tidak mau pusing memikirkan itu. Yang membuatku agak gentar sekarang adalah, karena tugas menghabisi bapak penyidik senior itu beralih padaku. Aku harus membunuhnya agar dia tidak semakin merepotkan kami.