"Bapak akan menceritakan satu kisah." Bapak membenahi duduknya dari posisi bersila dengan menyelonjorkan kedua kakinya. Punggungnya menyender ke gubuk sawah kami yang terbuat dari geribik. Angin sawah yang sepoi-sepoi membuat bunyi perangkap burung terdengar seperti harmoni pengantar tidur.
Kluntung-kluntung-kluntung!
"Ini adalah kisah nabi kita, Rasulullah Muhammad SAW," lanjutnya. Aku dan Bang Hasan takzim mendengarkan. Kami bertiga baru saja salat zuhur berjamaah di gubuk sawah setelah melahap seisi rantang yang dikirimkan Ibu---nasi hangat, sayur lodeh, ikan asin, lengkap dengan kerupuk dan sambal petainya.
"Dulu, sewaktu awal-awal menyebarkan agama Islam, Rasulullah mendapat penentangan yang sangat berat dari lingkungannya sendiri. Pemuka-pemuka Quraisy setiap hari berkumpul untuk merundingkan bagaimana cara menyingkirkan sosok bernama Muhammad yang mereka anggap melecehkan agama nenek moyang mereka.
Hingga suatu ketika, Abu Jahal, salah satu pemuka Quraisy yang sangat membenci Rasulullah, mengusulkan sebuah ide. Dia bertekad untuk menimpuk kepala Rasulullah dengan sebuah batu besar saat beliau sedang bersujud dalam salatnya. Usulan tersebut disambut suka cita oleh Bani Quraisy yang lain. Mereka yakin sekali kalau Muhammad akan mati. Persiapan pesta pun dilakukan untuk merayakan itu." Bapak menghela napas, lalu menyeruput teh manisnya.
"Mereka berhasil, Pak?" Bang Hasan menyela tidak sabaran.
Bapak pun melanjutkan cerita.
"Esoknya, saat Rasulullah melaksanakan salat subuh di Ka'bah, Abu Jahal dan rekan-rekannya turut datang ke sana. Di tangan Abu Jahal terdapat sebuah batu besar yang siap dia timpakan pada Rasulullah. Dia pun mengendap-endap mendekati sang Rasul, disaksikan kawan-kawannya dari kejauhan. Tepat saat Rasulullah sedang sujud, Abu Jahal mengangkat tinggi-tinggi batu itu, hanya tinggal menjatuhkannya saja ke kepala Nabi kita."
Aku menahan napas saat cerita Bapak sampai di bagian ini. Apakah Rasulullah akan terluka? Apakah Rasulullah akan meninggal saat itu juga? Melihat ekspresi wajahku yang tegang, Bapak terkekeh.
"Tenang saja, Na, Gusti Allah mboten sare." Allah tidak tidur, katanya.
"Tepat saat Abu Jahal hendak menimpakan batu besar itu pada Rasulullah, tubuhnya mendadak kaku. Tangannya tidak bisa bergerak. Matanya membelalak. Kakinya seperti terpaku di bumi. Dia tidak bisa menjatuhkan batu itu ke kepala Rasulullah yang mulia. Yang ada, Abu Jahal akhirnya ditarik oleh kawan-kawannya karena dia tidak dapat bergerak. Tubuhnya gemetaran.
Kawan-kawannya pun penasaran. 'Apa yang terjadi wahai, Abu Jahal?' tanya mereka. Setelah Abu Jahal sadar dari kondisinya, dia pun bercerita. 'Tadi, sewaktu aku hendak menimpakan batu itu pada Muhammad, tiba-tiba muncul seekor unta yang besar sekali di hadapanku. Unta itu hendak menendangku. Aku tidak pernah melihat unta sebesar itu sebelumnya, sehingga aku sangat ketakutan,' tuturnya.
Kawan-kawan Abu Jahal saling berpandangan. 'Abu Jahal, kami dari tadi ada di belakangmu. Kami tidak melihat unta yang kau maksudkan, bahkan bayangannya pun tidak,' kata mereka. Abu Jahal tidak dapat berkata apa-apa lagi, dan rekan-rekannya menganggap dia sebagai tukang bohong semata." Bapak mengakhiri kisahnya dengan senyum lebar. Burung-burung bercericit di kejauhan seolah turut mendengarkan kisah yang dituturkan Bapak.
"Allah selalu punya cara untuk melindungi hamba-Nya yang beriman, Hasan, Hasana. Allah akan menanamkan keyakinan di hati mereka, bahwa tidak ada yang layak ditakuti selain Dia, termasuk maut sekalipun. Berbahagialah orang-orang yang diberkahi keyakinan tersebut di dalam hatinya. Hatinya akan selalu merasa tenteram dan cukup. Bagi mereka, Allah sudah cukup," pungkas Bapak.
Bapak lalu menepuk-nepuk bahu Bang Hasan dan bilang, "Bapak selalu berdoa semoga kalian menjadi orang-orang yang diberkahi dengan keyakinan itu."
*
"Jangan tembak!" Sebuah suara menyentakku. Membuyarkanku dari lamunan.
"Jangan sakiti mereka! Kalau kamu mau, tembak saja aku!"
"Ali, jangan!" Istri si bapak penyidik mencengkeram lengan putranya yang tadi mencicit ketakutan. Kini, pemuda tanggung yang kutaksir masih SMA itu sudah maju sejengkal menghadapiku.
Pistolku masih teracung pada ayahnya. Namun, sebenarnya hatiku sudah tidak berdaya. Irama jantungku semakin tak beraturan, semakin cepat dan cepat. Sementara kakiku seperti tak bisa digerakkan. Melihat drama keluarga ini, otakku mendadak ikut merasa kebas. Aku tidak bisa berpikir. Di pelupuk mataku, kenangan-kenangan bersama Bapak dan Bang Hasan masih berkelebatan. Kisah tentang lelaki pembawa batu bernama Abu Jahal kembali terngiang-ngiang. Kini, aku bahkan bisa menyaksikan Bang Hasan akan maju---melindungi kami seperti putra si bapak penyidik---jika hal ini terjadi pada keluargaku.