Rumah Pak Kyai jauh dari kesan mewah, tapi bersahaja. Modelnya seperti kebanyakan rumah-rumah di pedesaan dengan plafon rendah dan atap berbentuk segitiga. Penerangan di teras yang tidak seberapa luas hanya berupa lampu neon 15 watt yang dikerubungi laron. Sinar lampu itu membuat pantulan bayangan di lantai ubin berwarna kuning, yang sebagian sudah retak-retak. Meski begitu, rumah ini sangat bersih. Semerbak aneka bunga langsung menusuk hidungku begitu kami memasuki terasnya. Di dalam pot-pot kecil yang ditata berjajar sedemikian rupa, bunga-bunga warna-warni memanjakan mata. Tak hanya itu, di pot yang lebih besar juga terdapat tanaman cabai, tomat. Keduanya sedang berbuah ranum dan segar. Merah-merah.
Dua buah kursi kayu tua yang mengapit meja segi empat kecil di tengahnya, melengkapi pemandangan teras. Bisa dibayangkan betapa rileksnya pikiran jika setiap pagi duduk sambil minum kopi di sini sebelum memulai hari. Kalau bisa ditarik kesimpulan, rumah Pak Kyai adalah rumah yang benar-benar mencerminkan rumah. Kedamaian menguar dari sana. Belum apa-apa aku bahkan sudah merasa betah. Rumah ini membuat kerinduan pada rumahku yang dulu, dan juga Ibu, semakin mengimpit dada.
Bang Hasan mengetuk pintu seraya menguluk salam. Dari dalam, terdengar suara wanita menjawab salamnya, diikuti bunyi kemerisik langkah mendekati pintu. Jantungku kembali berpacu lebih cepat. Terlebih, saat tiba-tiba speaker masjid dengan nyaringnya menyiarkan kumandang azan. Aku tertegun di tempat. Menelan ludah. Seharusnya, itu adalah suara azan isya yang merdu sekali. Muazinnya mungkin seorang qori' profesional. Namun, bukan ketenangan yang kurasakan, telingaku justru terasa sakit. Panggilan salat itu terlalu memekakkan. Terlalu keras. Reflek aku menutup telinga dengan kedua tangan, bersama kesadaran yang terlambat masuk dalam otakku. Dengan tinggal di sini, artinya lima kali sehari aku harus bertarung dengan suara azan yang berisik ini. Setiap hari! Ya Tuhan, apakah aku bisa?
"Hasan, sudah pulang?" Derit pintu yang terbuka disusul suara lembut seorang wanita, membuat tanganku yang sedang menutup telinga, merosot.
"Alhamdulillah, sudah Bu Nyai." Bang Hasan menjawab sopan.
Orang yang dipanggil Bu Nyai ini kemudian mempersilakan kami masuk.
"Abah sudah ke masjid. Tunggu di sini dulu, ya," ucapnya sembari menuju meja kursi tamu kayu sederhana, dan memberi isyarat agar kami duduk.
Wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda ini lalu mengalihkan pandangannya padaku. "Ini adik kamu, San? Alhamdulillah mau ngaji di sini," ujarnya, senyumnya merekah.
"Iya, Bu Nyai. Na, salim sama Bu Nyai."
Aku segera menyalami Bu Nyai seperti yang dikatakan Bang Hasan, patuh seperti bocah TK yang disuruh sang ibu salim pada gurunya. Bu Nyai menyambut uluran tanganku dan membiarkanku mencium takzim tangannya yang lembut. Aroma kunyit yang cukup kuat masuk tanpa aba-aba ke indera penciumanku.
"Namanya Hasana, Bu Nyai. Terima kasih banyak sudah diterima di sini," kata Bang Hasan lagi.
Abangku itu kemudian pamit untuk ikut salat jamaah di masjid mumpung belum dimulai. Sekarang, di ruang tamu yang dindingnya penuh dengan lukisan kaligrafi ini, aku duduk terpekur dengan wanita berkerudung lebar yang tak henti menebarkan senyum ramahnya. Ya, Tuhan, rasanya aku ingin menghilang saja dari muka bumi!
*