"Hasana, ini Nur. Nur ini kepala bagian pengurus dapur. Pokoknya urusan dapur semuanya saya percayakan sama dia." Bu Nyai memperkenalkanku dengan perempuan yang tadi membuatkan teh hangat untuk kami.
Sekarang tinggal aku, Bu Nyai, dan Nur yang ada di ruang tamu rumah ini. Bang Hasan dan Pak Kyai segera menyusul ke masjid segera setelah obrolan kami selesai. Tidak banyak yang kami bahas, hanya seputar kegiatan pesantren yang tadi juga sudah diterangkan Bu Nyai, dan tugasku di sini. Seperti kata Bu Nyai, aku akan ditugaskan untuk membantu staf perdapuran. Semakin banyak santri di pondok ini, maka jumlah tenaga untuk menyiapkan makanan juga harus semakin banyak. Staf dapur mulai kewalahan, makanya perlu tambahan tenaga.
"Nah, Nur, kamu antar dulu Hasana ke asrama. Biar dia istirahat. Pasti lelah sehabis perjalanan jauh."
Nur tersenyum. Dia mengulurkan tangan kepadaku sambil menyebutkan namanya. Kami berkenalan dengan kikuk.
"Ayo ikut saya, Mbak," ucap Nur ramah.
Setelah berpamitan dengan Bu Nyai, aku pun mengekor perempuan berjilbab segi empat yang terulur menutup dada ini ke komplek asrama puteri. Kami berjalan beriringan tanpa berkata-kata. Sepertinya, Nur bukan tipe perempuan yang banyak omong. Baguslah, akan semakin aman jika aku tak banyak bicara di sini. Takut keceplosan.
"Nah, ini asrama pengurus, Mbak." Raut wajah Nur terlihat semringah di bawah sinar lampu ruangan yang terang.
Kami sudah memasuki sebuah ruangan paling pojok di lantai tiga asrama puteri. Lorong-lorong lantai tiga ini lengang karena memang hanya dihuni pengurus. Ba'da isya begini, pengurus masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ruangan itu cukup luas, dengan cat dasar yang sama, hijau tua, juga ranjang-ranjang yang tertata berderet-deret. Di samping setiap ranjang terdapat sebuah lemari yang tidak bisa dibilang besar.
Aku menelan ludah. Tiga malam yang lalu, aku masih tidur di kasur busaku yang nyaman, dengan AC yang menyala sepanjang malam, pemandangan balkon yang menakjubkan, juga privasi penuh. Sekarang? Suara kentutku bahkan akan terdengar oleh seisi penghuni ruangan ini. Bagaimana sih, mereka bisa hidup bersama-sama begini? Sama sekali tidak ada privasi. Aku mendesah pasrah sambil bertanya-tanya sampai berapa lama aku akan betah tinggal di sini.
"Ehm!"
Nur berdeham. Mungkin karena aku kelihatan melamun.
"Itu tempat tidur Mbak," katanya sambil menunjuk sebuah ranjang kayu nomor tiga dari pintu. "Itu lemari Mbak. Di dalamnya sudah disiapkan keperluan Mbak. Ada beberapa baju ganti juga, Mbak," lanjutnya.