HASANA (Jalan Hijrah sang Gadis Mafia)

Ayu Fitri Septina
Chapter #22

22 - Pekak

Siksaan pun dimulai. Sudah satu minggu berlalu sejak peristiwa kebut-kebutan di jalan dengan Bang Hasan dan pick up bututnya. Sudah tujuh hari aku tidur di kasur kapas dengan ranjang kayu yang bahkan tidak bisa digunakan untuk berguling ke sana kemari saking sempitnya. Satu minggu pula aku tersiksa dengan ritme baru dalam hidupku yang berbalik 180 derajat dari iramanya semula.

Kegiatan di pesantren sungguh membosankan. Aku heran kenapa ada ratusan santri yang betah berada di lingkungan seperti ini. Isinya hanya belajar, belajar, dan belajar! Bagi pengurus sepertiku terutama, bahkan kegiatan sudah dimulai sejak pagi-pagi sekali. Pukul empat, aku bangun dan dengan terkantuk-kantuk harus bekerja di dapur. Entah merajang bumbu, menanak nasi, atau sekadar menjerang air. Staf dapur adalah staf yang paling sibuk.

Dari dapur, aku juga mengamati kegiatan sehari-hari para santri, khususnya santriwati. Sebelum subuh, banyak dari mereka yang sudah bangun hanya untuk mengantre mandi atau mencuci baju. Setelah azan subuh berkumandang, semuanya tergopoh-gopoh pergi ke masjid besar untuk salat berjamaah. Wajib hukumnya berjamaah saat subuh, karena seusai salat Pak Kyai akan memberikan kuliah pagi. Siraman rohani untuk mengawali hari.

Setelah itu, kegiatan beralih dengan hafalan kosa kata atau mufrodat. Kegiatan tersebut dilakukan di kamar asrama masing-masing dan dibimbing oleh ketua asrama. Setiap hari aku akan mendengar santri-santri tersebut mengulang-ulang kosa kata bahasa Arab atau bahasa Inggris. Pagi ini, mereka meributkan meja dalam bahasa Arab yang membuatku pusing mendengarnya.

"Almaktabun! Alkitaabu 'alal maktabi."

Buku di atas meja.

Usai mufrodat, santri-santri akan bersiap masuk sekolah pagi atau sekolah utama. Di sinilah aku akan jadi super sibuk, karena harus meladeni mereka semua sarapan. Sungguh melelahkan!

Sekolah pagi berlangsung sampai siang. Di pondok pesantren ini dimulai dari Madrasah Tsanawiyah atau setara SMP, dan Madrasah Aliyah setara SMA. Pukul 14.00, kegiatan sekolah berakhir. Ada jeda waktu sampai asar, kemudian santri akan lanjut masuk sekolah sore atau darsul masa'. Sepulang darsul masa', inilah waktu yang agak senggang bagi mereka. Waktu bebas untuk apa saja. Mau bersantai, jajan-jajan di kantin, cuci baju, atau mengisinya dengan kegiatan ekskul juga boleh-boleh saja. Waktu selepas maghrib digunakan untuk mendarus Al-quran juga makan malam. Setelah salat Isya, santri-santri diharuskan belajar lagi untuk mempersiapkan pelajaran esok hari.

Bukan kegiatan padat para santri yang paling menggangguku. Aku memang sibuk, lelah, dan bahkan kadang-kadang sampai lupa makan. Namun, hal tersebut justru bisa dikatakan baik karena pikiranku dari kecemasan terhadap Master Don jadi teralihkan.

Jika saja tidak ada suara azan yang terus-terusan berkumandang dari masjid, juga lantunan qori yang tidak pernah lelah membaca Alquran, mungkin hidupku akan tenang di sini. Akan tetapi, suara-suara itu terus berisik di telinga. Tak hanya lima kali sehari, bahkan di jam-jam segini, pukul tiga dini hari begini, suara azan akan terdengar. Dan anehnya, entah kenapa aku selalu terjaga. Suara azan itu seperti alarm yang menyetel tubuhku secara otomatis untuk bangun. Padahal, satu kamarku, Nur dan yang lain, tampak pulas-pulas saja dan tidak terganggu.

Hayya 'alassholah, hayya 'alal falah ...

Aku menutup telinga rapat-rapat dengan bantal, tapi sayangnya percuma. Sekali lagi kalimat azan itu tetap terngiang di telinga. Setiap kali mendengar azan, terutama di jam lengang seperti sekarang, jantungku selalu terasa berdentam-dentam. Aku bahkan bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Sensasi aneh ini membuatku merasa gelisah dan tidak bisa tenang.

Pikiranku pun jadi melayang ke mana-mana. Aku ingat betul bagaimana tatapan terakhir Pengkor sebelum kuloloskan peluru dari pistol colt ke tengkoraknya. Tatapan penuh amarah dan kemenangan. Bagaimana seringai puas dan kepercayaan Master Don padaku. Yang lebih parah, kilas balik saat aku hendak menembak si bapak penyidik KPK terekam kembali dengan gamblang. Semua itu membuatku menggigil. Entah apa yang terjadi dengan hatiku. Seribu perasaan seperti campur aduk di sana dan kalimat-kalimat azan semakin mempertajam rasa sakitnya.

Allah wujud, qidam, baqa', mukhalafatullilhawaditsi ...

Lihat selengkapnya