Andai saja aku masih menyimpan pistolku, mungkin saat ini aku akan menodongkannya ke mulut Nur. Andai aku masih Aileen, tentu aku tak akan segan menebas lehernya dengan shuriken. Bukankah praduga yang baru saja meluncur dari bibirnya itu bisa berujung fitnah? Bukti apa yang Nur punya sehingga dia bisa seringan itu berasumsi bahwa akulah yang mendalangi skandal ini?
Gigiku bergemerutuk menahan amarah yang sekonyong-konyong melesak dalam dada. Jika saja tidak ingat apa tujuan utamaku sampai terdampar di penjara suci ini, aku pasti sudah membuat perhitungan dengan Nur. Aku harus mendengungkan berulang kali di otakku, bahwa aku yang sekarang adalah Hasana. Hasana, gadis baik-baik yang sedang belajar ngaji dan memperdalam ilmu agama. Napas berat berembus dari hidungku, berharap bersama dengan itu amarahku pada Nur juga ikut luruh.
*
Tujuh hari berlalu lagi, membuat presentase rasa cemasku sedikit menurun meski belum sepenuhnya lega. Mungkin, aku memang tidak meninggalkan jejak yang dapat dilacak Master Don sehingga batang hidung anak buahnya belum tampak sama sekali.
Selama ini aku terus waspada, memperhatikan betul gerak-gerik semua orang. Mungkin saja di antara mereka ada yang mencurigakan, yang bisa jadi anak buah Master Don yang menyusup di sini. Namun, sejauh ini kurasa aman. Apakah Allah memang menaungi rumah-Nya dengan sayap-sayap Jibril yang agung itu, sehingga makhluk-makhluk mungkar terbutakan matanya? Jika memang benar begitu, aku akan ikut mengamini. Mungkin juga, Allah sudah puas memberiku nasib sial.
Satu hal yang masih belum bisa membuatku nyaman di pesantren adalah kepura-puraanku. Misalnya saja, pura-pura mendengarkan azan dengan takzim padahal sedang mati-matian menahan tangan agar tidak menutup telinga, pura-pura salat jamaah padahal pikiran menjelajah ke mana-mana, atau pura-pura bersikap baik kepada siapa saja. Tiga bulan berpura-pura sebenarnya sudah cukup membuatku muak.
Sama seperti malam-malam sebelumnya, aku selalu terjaga saat mendengar azan di sepertiga malam terakhir. Beberapa hari lalu aku baru tahu, kalau ternyata si pemilik suara merdu yang melantunkan azan itu adalah Adam. Nur tidak pernah berhenti memuji betapa sempurnanya putera Pak Kyai tersebut. Bagiku, tetap saja, semerdu apa pun suaranya, selama yang dia lantunkan adalah azan, itu hanya akan membuat telingaku sakit. Pekak. Mengganggu tidur.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata sambil menutup telinga. Dari tadi, aku belum bisa tidur pulas. Pikiranku masih terkoneksi dengan kenyataan hidup yang membelenggu. Ditambah cuaca malam ini yang entah kenapa lebih gerah dari biasanya, membuatku semakin susah tidur. Dan sekarang, saat aku belum lama berhasil larut sepenuhnya dalam tidur, suara azan Adam yang berisik membangunkanku lagi.
Aku berusaha tidur kembali setelah speaker berhenti mendengungkan azan. Namun, hasilnya nihil. Mataku justru terbuka lebar, dan hasrat ingin buang air kecil kian mendesak. Dengan malas, akhirnya aku turun dari tempat tidur untuk pergi ke toilet.
Usai buang hajat, rasa enggan kembali ke kamar mengusikku, sementara waktu sibuk di dapur juga masih lumayan lama. Akhirnya, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di area asrama sembari menghirup udara segar. Meski di dalam kamar terasa gerah, di luar sini angin pagi membelai mesra. Aku merapatkan jilbab segiempat yang kupakai sekenanya karena leherku terasa dingin diterpa angin.
Di langit sana, bintang gemintang berkerlap-kerlip memamerkan keindahannya. Bulan membulat sempurna, ditengarai awan-awan tipis keabuan. Sungguh lukisan alam yang memesona. Suara hewan-hewan malam dan kokok jago yang sesekali terdengar menambah sahdu suasana. Harus kuakui, tidak salah jika di sepertiga malam terakhir adalah waktu yang paling damai. Mungkinkah karena di waktu-waktu ini jutaan malaikat-Nya turun, memberi berkahnya pada semesta, serta mengaminkan doa hamba-hamba yang khusuk bersujud pada-Nya?
Sedang terbuai dalam suasana damai, aku dikagetkan dengan bunyi berderak dari pintu kantor utama yang berderet di hadapanku. Aku sedang menyusuri batako belakang masjid, yang merupakan area kantor pengurus santri. Instingku langsung berbicara. Mataku menyipit, tak ingin melewatkan pemandangan apa pun yang kemungkinan akan kutangkap.
Benar saja, beberapa detik selanjutnya aku melihat pintu itu terbuka semakin lebar. Aku langsung bergerak cepat, bersembunyi di balik tembok saat melihat seseorang keluar dari ruangan itu. Awalnya, aku mengira sosok tersebut mungkin Pak Kyai atau pengurus lain yang memang ada perlu. Namun, dugaanku pupus seketika. Aku terkesiap.
Bukan Pak Kyai atau pengurus, melainkan sosok dengan pakaian serba hitam yang keluar dari kantor utama. Sarung tangan dan kupluk yang sempurna menutup wajahnya juga tak ketinggalan dikenakan. Adrenalin langsung membanjiri setiap inchi pembuluh darahku. Tubuhku memanas. Wajahku memanas. Sosok inilah yang jadi jawaban dari skandal yang sekarang tengah terjadi di sini.
Baru saja aku bergerak sedikit, berniat membekuk si pencuri, aku dikejutkan dengan sosok lain yang muncul mengendap-endap dari lorong. Gotcha! Sudah kuduga, perbuatan kriminal ini bukan hanya dilakukan satu orang. Ada satu lagi yang bertugas untuk berjaga-jaga saat rekannya beraksi. Seperti setiap kali aku melakukan aksi serupa. Bedanya, aksiku lebih menantang. Berbeda dengan pencuri uang kas ecek-ecek semacam ini.
Deburan semangat yang menguasai tubuhku tidak bisa ditahan lagi. Tak kusangka, aku benar-benar merindukan saat-saat menegangkan seperti ini. Hanya saja, kali ini aku akan jadi hero, bukan penjahatnya. Tanpa pikir panjang lagi, aku keluar dari persembunyian dan berlari menghadang dua orang pencuri tersebut.