"Nur?" Adam terbeliak. Reaksi wajahnya menunjukkan kekagetan yang teramat sangat.
Dari tempatnya berdiri, bisa kudengar Bu Nyai menggumamkan lafal istighfar. Tangan kirinya mencengkeram dada yang berbalut mukena. Saat itu, waktu seolah terhenti. Semua yang ada di sana seperti kesulitan mencerna semuanya. Wina, yang berdiri di sampingku, semakin erat mencengkeram lenganku. Bahunya merosot. Tangannya yang bebas membekap mulut.
"Gak mungkin ... Nur." Dia mendesah. Syok.
Nur dan Rizki tertunduk semakin dalam. Sesekali kulihat Nur menyeka lubang hidungnya yang berdarah sambil meringis. Bagi yang baru pertama merasakan patah hidung seperti itu, rasanya pasti sakit sekali. Nur termasuk kuat karena dia tidak sampai menangis.
"Sekarang kalian semua bubar. Lanjutkan kegiatan kalian. Biar para pengurus yang menangani masalah ini." Suara Pak Kyai yang penuh wibawa mematahkan umpatan para santri yang menyerupai dengungan lebah.
Tak melawan, akhirnya satu per satu santri itu bubar. Ada yang kembali ke kamar, tak sedikit juga yang beranjak ke masjid untuk melanjutkan ibadah. Kini, yang tertinggal di pelataran rumah Pak Kyai hanya ada beberapa orang, termasuk aku, Bang Hasan, juga Wina.
"Kata Adam, kamu Na, yang memergoki aksi kedua rekan kita ini?" Mata Pak Kyai tajam menatapku sambil melontarkan pertanyaan itu.
Aku mengangguk. "Nggih, Pak Kyai ..."
"Ayo kita masuk ke dalam untuk memusyawarahkan masalah ini. Mumpung belum masuk waktu subuh."
"Apa perlu saya panggil semua pengurus, Bah?" Adam bertanya sopan.
Pak Kyai menggeleng. "Cukup kita yang di sini saja. Semakin sedikit yang tahu, semakin baik. Kita ndak akan bikin mereka berdua semakin tak berdaya menanggung malu."
Aku terkesima mendengar apa yang baru saja terlontar dari mulut Pak Kyai. Tentu bukan sembarang orang yang bisa membuat keputusan seperti itu. Bahkan, untuk sekelas penjahat saja, Pak Kyai masih memikirkan perasaan mereka. Lelaki berpeci putih tersebut lantas masuk mendahului kami semua. Wina melirik dan menyenggol lenganku lagi, mengajakku ikut masuk ke dalam.