HASANA (Jalan Hijrah sang Gadis Mafia)

Ayu Fitri Septina
Chapter #28

28 - Gigil

Pendaran cahaya yang membentuk lorong terang benderang itu menyelubungiku. Suara Bapak terdengar di kejauhan, terpantul-pantul menggema di sepanjang lorong. Aku masih diam membisu sambil mencengkeram pinggiran ranjang. Cahaya di hadapanku yang tak berujung ini, dengan pelan tapi pasti, berubah menjadi serpihan-serpihan bayangan.

Serpih-serpih itu kemudian menyatu, membentuk sebuah hologram besar dengan warna-warna menyilaukan. Lorong cahaya telah redup, menyisakan adegan-adegan yang kini berputar di layar hologram besar di depan wajahku. Rentetan adegan tersebut adalah pantulan dari memori otakku. Di sana, aku bisa melihat Aileen menghabisi ketiga preman pasar di tengah derasnya hujan. Aku bisa menyaksikan tanganku yang gemetar setelah menembak mereka.

Setelah itu, film berganti pada sasaran-sasaran yang telah kuhabisi. Ketua partai, kepala bea cukai, sampai pelayan-pelayan hotel tak berdosa yang kebetulan memergoki aksiku. Aku berkali-kali menutup mata, jerih menyaksikan pemandangan itu. Baru kutahu kalau ternyata Aileen sebrutal ini. Aku bahkan bergidik saat melihat seringai puasnya setelah menembakkan peluru ke tempurung otak mangsanya.

Film berpindah ke jalanan. Di sana ada mobil pick up dan jeep yang sedang berkejaran. Bisa kulihat dengan jelas kepala botak Pengkor yang menyembul dari jendela Jeep-nya, dan bagaimana matanya terbeliak begitu peluru menyentuh keningnya.

"Cukup!" teriakku. Entah sejak kapan aku sudah berganti posisi memeluk lutut seperti ini. Tubuhku menggigil hebat.

Tayangan-tayangan yang baru saja kusaksikan adalah rekaman kejahatanku selama enam tahun bergabung dengan Master Don. Aku tak kuasa melihatnya lagi. Butiran air tumpah dari mataku, entah karena apa. Lututku terasa lemas sekali.

Layar hologram itu akhirnya mati. Sekejap saja, aku terkungkung dalam gelap yang tiada tara. Namun, belum sempat mataku kembali beradaptasi, pendaran cahaya tadi terbentuk lagi. Lorong cahaya tersebut masih tak berujung, seolah siap menelanku bulat-bulat.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata, memastikan bahwa penglihatanku tidak salah tangkap. Dari lorong itu, berjalan dari ujungnya, sosok lelaki dengan pakaian serba putih. Peci putih tersemat di kepalanya, menutup rambutnya yang keperakan. Awalnya, kukira dia adalah Pak Kyai, mengingat aku masih ada di pesantren. Akan tetapi, semakin dekat sosok tersebut, semakin jelas siapa dia.

Bapak.

Aku terperenyak. Waktu seakan terhenti. Bapak! Lelaki ini benar-benar Bapak! Dia sekarang sudah dekat sekali denganku. Aku menepuk-nepuk pipi, memastikan kalau semua ini pasti hanya mimpi. Namun, pipiku terasa sakit. Apakah ini nyata?

"Na ... Ndhuk." Bapak menyapaku. Lirih sekali. Sedekat ini, kulihat tangannya menggenggam tasbih bermanik biru seperti milik Bang Hasan. Mulutnya komat-kamit lagi, seperti ingin mengatakan sesuatu. Tetapi, aku masih diam tertegun. Bergeming.

"Tolong Bapak, Ndhuk ..."

Lihat selengkapnya