Sebelum pikiranku makin ke mana-mana dan membuatku sinting, aku segera turun dari tempat tidur. Kakiku sedikit goyah saat menjejak lantai. Tubuhku terasa limbung, tapi ritme jantung yang semula tidak karuan, kini sudah semakin tenang. Aku tidak punya pikiran mau ke mana, tapi lama-lama di sini hanya akan menambah kekalutanku.
Tak mungkin aku ke dapur dan bekerja dalam keadaan seperti ini, kan? Lagi pula, Wina pasti sudah mengabarkan pada yang lain, kalau tidak bisa kusebut dengan bergosip. Tak mungkin juga aku menemui Bang Hasan dini hari seperti sekarang. Meskipun terhitung pengurus, tapi kami tetap punya aturan yang sama dengan santri. Tidak boleh seenaknya sendiri keluar masuk asrama lawan jenisnya.
Tak punya tujuan pasti, aku hanya mengikuti langkah kaki. Cuaca sedini ini sangat sejuk dan melegakan. Daun-daun di pepohonan yang ada di area pesantren, bergoyang-goyang pelan tertiup angin. Tanah dan batako terasa lembap karena embun pagi. Aku menghirup napas dalam-dalam. Aroma kembang aneka rupa di halaman rumah Pak Kyai sontak memenuhi indera olfaktoriku. Rasanya sungguh menyenangkan jika saja suasana hatiku sedang tidak seperti sekarang.
Suasana yang membuai pikiran kalutku ternyata membawaku ke depan gerbang masjid. Sejenak, keraguan menyelimuti hati. Mau apa ke masjid di jam-jam segini? Mungkin di sana hanya ada Adam dan beberapa santri yang sedang bertahajud. Menghabiskan sisa malam, melawan udara dingin untuk memohon ampun pada Tuhan. Lagi pula, untuk apa? Sejak kapan aku mendatangi masjid saat hatiku kalut?
Pikiranku bersikeras menolak, memaksa kaki untuk terus melangkah melewati masjid An-Nur ini. Namun, apa yang dilakukan tanganku justru sebaliknya. Jari jemari ini memegang erat jeruji gerbang masjid, mendorongnya perlahan. Hatiku bergetar. Seperti ada kekuatan magis yang merasuk ke dalamnya, membuat celoteh berisik di kepalaku teredam. Aku melangkah masuk ke masjid tanpa ragu. Kakiku terasa sangat ringan.
Bayangan Bapak yang sesekali berkelebat dalam benakku, hidung dan matanya yang mengeluarkan darah, semakin mempercepat langkah kakiku. Seolah dengan masuk ke masjid, aku bisa menyelamatkan Bapak. Seolah dengan minta ampun pada Tuhan, aku bisa melenyapkan makhluk mengerikan itu.
Apakah benar, ini yang harus kulakukan?
Air wudhu membasahi wajahku. Kali ini, aku benar-benar melakukannya dengan sungguh-sungguh. Aku bahkan melafalkan niatnya. Rintihan Bapak yang masih samar terdengar di telinga membuat hatiku semakin rapuh. Aku tidak bisa terus-terusan dihantui rasa bersalah ini. Aku harus menyelesaikannya!
Masuk ke area salat wanita, kudapati tak ada siapa pun di sana. Aku tidak tahu apakah santri puteri boleh bertahajud di masjid? Barang kali tidak. Namun, aku tidak peduli apakah sikapku ini melanggar aturan. Aku tidak tahu lagi harus ke mana. Lupa membawa mukena, aku pun mengambil mukena yang ada di almari masjid. Bau kamfer seketika menyeruak saat aku membuka lemari kayu itu.