"Wa laa tahinuu wa laa tahzanuu wa antumul-a'launa in kuntum mukminin ..."
Adam menyitir sebuah ayat Al-Quran dalam kultumnya jelang salat subuh berjamaah pagi ini. Ramadan sudah memasuki hari kelima, menumbuhkan suasana baru yang benar-benar sahdu di pesantren. Sebagian besar santri sudah pulang di H-2 Ramadan. Yang masih harus tinggal di pesantren adalah santri kelas akhir. Kata Pak Kyai, itu adalah bagian dari pengabdian mereka pada pondok.
Pengurus yang tersisa di pesantren juga tinggal beberapa orang. Aku salah satunya. Pengurus bagian dapur kebanyakan adalah warga sekitar, jadi setiap hari mereka hanya stand by di pesantren pada siang hari saja. Kalau malam, mereka pulang. Di bulan puasa, mereka datang ke pondok dari siang sampai jam buka. Jelang sahur, pengurus asli pribumi ini datang lagi. Karena tidak banyak santri yang harus dilayani, pekerjaan jadi jauh lebih ringan.
"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman." Adam melanjutkan kultumnya.
"Di dalam Qur'an surat Ali Imran ayat 139 ini, Allah menjelaskan kepada kita semua, bahwa, meski seberat apa pun ujian kita, janganlah kita sampai bersikap lemah. Jangan putus asa. Janganlah kita bersedih. Karena, jika di hati kita tertanam keimanan yang dalam, yang kuat kepada Allah, dan kita mampu bersabar terhadap pedihnya cobaan itu, maka sesungguhnya kita adalah orang-orang yang ditinggikan derajatnya.
Laa takhof wa laa tahzan. Innallaha ma'ana. Jangan takut wahai orang-orang beriman, jangan sedih wahai orang-orang beriman. Sesungguhnya, Allah selalu membersamai kita."
Aku terpekur mendengarkan ceramah Adam. Sejak kejadian mimpi buruk malam itu, hatiku selalu diliputi ketakutan. Namun, bukan lagi takut pada kemungkinan Master Don bisa menemukan dan kemudian membunuhku. Aku takut jika mimpiku bukan hanya sekadar mimpi. Aku takut jika Bapak benar-benar dimintai pertanggung jawaban atas dosa-dosaku sebagai anaknya.
Beberapa hari yang lalu, aku mengadukannya pada Bang Hasan sambil menangis terisak-isak. Bang Hasan memandangku lekat-lekat dengan mata berkaca-kaca. "Na, kamu harus selalu mendoakan Bapak. Kamu tahu kan, kalau salah satu amalan kebaikan yang akan mengalir bagi si mayit adalah doa dari anak-anaknya yang salih?"
Aku mengangguk pelan sambil menyusut ingus dari hidung dengan ujung jilbab. Bang Hasan mengulurkan sekotak tisu yang ada di atas lemari kantornya.
"Semoga saja itu hanya mimpi buruk karena pikiranmu sedang kacau. Tapi, tidak ada salahnya kalau kamu semakin mendekatkan diri pada Allah. Doakan Bapak dan Ibu. Salat taubat."
"Salat taubat?" Kedua alisku bertaut saat aku mengernyitkan dahi.
Bang Hasan menjawabnya dengan anggukan. "Langkah pertama untuk kembali pada Allah, agar doa-doa kita didengar Allah, adalah menyucikan diri kita, Na. Salah satunya dengan bertaubat. Jika diri kita masih berlumur dosa, doa-doa yang kita panjatkan akan terhalang.
Taubat nasuha, Na. Seumur hidupnya, manusia harus selalu memperbarui taubatnya setiap kali teringat akan dosa-dosa kita yang menggunung."
"Ba-bagaimana tata cara salat taubat, Bang?" Aku bertanya tanpa ragu. Seumur-umur, aku belum pernah melaksanakan salat taubat.
"Tata caranya sama seperti salat-salat sunah yang lain. Hanya berbeda pada niatnya saja. Niatnya begini ushalli sunnatat taubata rak'ataini lillahi ta'ala. Sebelum itu, kamu harus lebih dulu bersuci secara sempurna, disunnahkan untuk mandi besar. Niat untuk bertaubat juga harus betul-betul datang dari hatimu, Na, dengan tujuan untuk bertaubat dari dosa-dosa yang pernah kamu lakukan," terang Bang Hasan.