Bulan yang suci bernama Ramadan tinggal hitungan hari. H-3 lebaran ini, aku masih lancar berpuasa. Ini adalah puasa Ramadanku yang pertama setelah enam tahun bergabung dengan geng mafia. Jujur saja, di hari-hari pertama rasanya sulit sekali. Perutku berontak, bahkan menjelang maghrib aku hampir-hampir muntah. Asam lambung terasa naik sampai ke kerongkongan. Aku persis anak kecil yang baru saja belajar berpuasa.
Namun, menjelang akhir Ramadan aku mulai terbiasa. Kesibukan memasak di dapur, meski kadang-kadang membuatku menelan ludah karena aroma masakan yang menggugah selera, tapi sedikit banyak membunuh waktuku. Berpuasa jadi tidak terasa terlalu lama.
Kegiatan bulan Ramadan di pesantren cukup berbeda. Para santri tingkat akhir yang tidak pulang, diberikan tantangan tersendiri. Mereka harus terjun langsung ke desa, kepada masyarakat, baik untuk mengisi ceramah saat tarawih atau kultum subuh. Selain itu, mereka juga mengadakan program pesantren kilat untuk anak-anak warga sekitar. Setiap sore jelang buka dan malam selepas tarawih, suasana masjid besar pondok semarak oleh anak-anak. Mereka bertadarus bersama dan ada jadwal muhadhoroh di malam Jumat.
Malam lebaran yang paling dinanti-nanti seluruh penghuni pesantren, dimeriahkan oleh gema takbir yang berkumandang. Suara petasan terdengar di mana-mana. Kembang api tampak menghiasi langit-langit malam yang kelabu di kejauhan. Santri-santri juga melakukan takbir keliling bersama anak-anak desa sekitar. Mereka membawa obor dan kentongan, bersama-sama menyerukan kalimat kemenangan.
"Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar. Laa ilaa ha illallah, huwallahu akbar. Allahu akbar wa lillahilhamd."
Suara Adam yang merdu, mendendangkan takbir dengan cengkoknya yang terasa sangat pas di masjid pesantren. Dia tidak ikut ramai-ramai bertakbir keliling karena harus mengurus zakat fitrah sejak sehabis maghrib tadi. Setelah urusan zakat fitrah itu selesai dan dibagikan pada mereka yang berhak menerimanya, Adam segera menyemarakkan masjid dengan takbir.
"Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar. Allaahu akbar kabiiraan, walhamdulillaahi katsiiraan, wasubhaanallaahi bukratan wa ashillaa. Laa ilaaha illallallahu walaa na'budu illaa iyyaahu. Mukhlishiinalahuddiin ...Walau karihal kaafiruun, walau karihal munafiqun, walau karihal musyrikun ..."
Aku yang sedang mengaduk kuali besar yang mengepulkan aroma opor ayam, terhenyak mendengar lantunan kalimat takbir itu. Entah karena kemerduan suara Adam atau memang penghayatannya yang dalam sehingga takbirannya terasa merasuk ke hati. Menyayat-nyayatnya perlahan.
Kedua mataku memanas. Kerinduan yang tak terbendung seketika menyeruak dalam dadaku. Rindu pada kampung halamanku yang tentu juga semeriah ini di malam takbiran. Rindu pada masa-masa kecil yang indah dan polos, yang gembira sekali saat Idul Fitri tiba. Kami---aku dan Bang Hasan---selalu dibuatkan petasan dari bambu yang disebut mercon bumbung, oleh Bapak. Kami akan menyalakan petasan super besar itu di halaman bersama teman-teman. Semua tertawa. Riang gembira. Tentu sambil berteriak-teriak lantang takbiran.
Malamnya, saking bahagianya menyambut hari esok, aku tidak akan bisa tidur. Bayangan betapa cantiknya diri ini mengenakan baju baru saat salat Ied membuat perut tergelitik dan rasa tidak sabar. Tidak sabar menanti esok! Apalagi usai salat Ied, kegembiraan akan meningkat berlipat-lipat. Setelah sungkem pada Bapak dan Ibu, sarapan ketupat opor bersama, aku dan Bang Hasan dan teman-teman akan berkeliling kampung, salam-salaman ke rumah tetangga.