HASANA (Jalan Hijrah sang Gadis Mafia)

Ayu Fitri Septina
Chapter #32

32 - Pulang

"Semalam, waktu Ibu selesai membuat macam-macam masakan ini untukmu, Na, Ibu jatuh di kamar mandi." Sorot mata Bang Hasan tampak terluka. "Setelah itu ... se-setelah itu Ibu tidak bisa bangun lagi. Tubuhnya kaku dan tidak bisa bergerak, Na." Air mata yang menyerupai bola kristal itu jatuh bergulir di pipi Bang Hasan.

Ulu hatiku bagai dipukul dengan palu godam. Remuk seketika. Bang Hasan menyusut air mata dengan punggung tangannya, lalu dengan tatapan memohon, dia berkata. "Pulang, Na, Ibu ingin sekali bertemu denganmu. Aku takut jika itu permintaan terakhir Ibu."

Perkedel kentang lezat buatan Ibu yang sedang kumakan mendadak hambar rasanya, sehambar hatiku. Penuturan Bang Hasan ini membuatku ingin segera berlari pulang, tapi ketakutanku membuat Ibu terancam oleh Master Don juga masih bersarang.

"Aku ... aku masih takut kalau ini belum saatnya, Bang. Semuanya terlalu rumit," jawabku sembari mendesah pasrah.

Bang Hasan menghela napas panjang, menyudahi kesedihannya dengan cepat, dan kini menatapku tajam. "Ketakutanmu itu tidak berdasar, Na. Coba kamu lihat sekarang, sudah berapa lama kamu pergi? Kamu masih hidup, kan?

Jangan menunda-nunda lagi kalau kamu tidak mau menyesal berkepanjangan. Ibu cuma ingin kamu pulang, ingin ketemu kamu. Dia tidak peduli Na, mau wajahmu atau bahkan sikapmu berubah bagaimana pun. Dia ibumu, dia akan mengenalimu! Yang dia ingin cuma bertemu denganmu. Pulang, Na. Aku mohon."

Getaran dalam suara Bang Hasan membuatku gentar menatapnya. Sejauh mana Bang Hasan sudah bercerita tentangku pada Ibu? Apakah wanita yang membawaku ke dunia itu bisa menerimanya? Benar kata Bang Hasan, jawaban dari semua pertanyaanku adalah dengan menemui Ibu. Akhirnya, kuberanikan diri untuk menganggukkan kepala. Mungkin memang sudah saatnya.

*

Tidak butuh waktu lama untuk berpamitan dengan Bu Nyai dan Pak Kyai. Beliau malah senang karena aku mau pulang dan menjenguk ibu Bang Hasan, mengingat di hari raya aku justru masih betah di pesantren. Mereka tidak tahu kalau itu juga ibu kandungku. Kepura-puraan kami sebagai saudara sepupu berjalan mulus sejauh ini.

Si pick up butut kembali menemani perjalanan kami. Bang Hasan bilang dia tidak akan lama. Dia hanya akan mengantarku pulang dan langsung berangkat ke pondok lagi. Setidaknya, begitu wacananya. Entahlah. Aku tidak punya bayangan apa-apa dalam hal ini. Sebetulnya aku tidak ingin berlama-lama di rumah. Bayangan rumah membuat rasa traumaku pada pelecehan seperti kembali ke permukaan. Bertahun-tahun tinggal di rumah sendiri dengan kenangan indah, dihancurkan hanya dengan satu kenangan buruk dan traumatis.

Lihat selengkapnya