"Na?" Bang Hasan menegur saat aku tidak beringsut sesenti pun dari jok pick up. "Ayo, Na." Sekarang dia sudah membuka pintu penumpang dengan mata yang tajam menatapku.
Langkah-langkah berat mengiringiku berjalan sepanjang pelataran menuju bangunan yang dulu kusebut rumah. Sekarang, walau dalam pandanganku ini adalah sesuatu yang sangat kukenali, tapi secara naluri aku merasa asing sekali. Tempat ini masihkah bisa kusebut rumah?
Pintu berbahan dasar kayu jati dengan ukiran dedaunan yang rumit berkeriut pelan saat Bang Hasan membukanya. Uluk salam terucap dari mulut abangku itu. Dari dalam, aku mendengar suara lembut perempuan menjawab salamnya. Lantas, tanpa harus menunggu lama, si pemilik suara tergopoh keluar. Tangannya sibuk merapikan jilbab instan lebar yang masih miring-miring.
"Mas? Cepat sekali sudah sampai rumah lagi," ucap perempuan manis tersebut yang tak lain adalah istri Bang Hasan, sambil meraih tangan abangku untuk disalami. Dengan takzim, dia mengecup punggung tangan Bang Hasan. Entah kenapa pemandangan harmonis di depanku ini membuat perutku bergelenyar.
"Iya, Dik. Setelah ngobrol sama Hasana, kami langsung pulang. Aku tidak lama ya, Dik. Pesantren sedang sibuk mengurus pendaftaran santri baru. Hasana akan tinggal di rumah dulu."
Aku menelan ludah susah payah mendengar perkataan Bang Hasan. Mulutku sudah terbuka untuk protes, tapi Ratih sudah mendahuluiku.
"Ya Allah, ini beneran kamu, Na? Masya Allah, aku benar-benar pangling. Kamu beda sekali, Na, tambah cantik sekali sekarang," katanya dengan air muka yang riang dan tulus. Insting mafiaku masih cukup berfungsi untuk membedakan mana orang yang benar-benar tulus atau cuma basa-basi. Tak kudapati kepura-puraan dalam ekspresi Ratih. Dia memang baik.
Dengan kikuk kami bersalaman, lalu saling menanyakan kabar. Ratih mengelus lenganku, dan dengan tatapan prihatin menjelaskan tentang keadaan ibu. Sejak keberangkatan Bang Hasan ke pesantren sampai sekarang, Ibu masih tidur. Barusan dia sudah memanggil mantri dekat sini yang sudah membekali ibu dengan obat.
Katanya, Ibu terkena stroke akibat tekanan darah, kolesterol, dan kadar gulanya yang tinggi. Sisi tubuh bagian kanan yang tidak bisa digerakkan---kata mantri---disebabkan karena matinya sel-sel otak kiri. Akibatnya, selain tubuh bagian kanan tidak bisa digerakkan, Ibu juga kesulitan berbicara, menelan, bahkan mengingat. Dari penjelasan singkat Ratih, rasanya aku tak ingin menemui Ibu. Aku mungkin tidak akan tega melihatnya dengan segala penderitaan itu.
"Ayo, Na. Kita ke kamar kalau mau lihat Ibu," ucap Ratih.