"Bu, coba lihat siapa yang datang. Hasana," ucap Bang Hasan setelah Ibu berhenti minum. Wanita itu mencoba menjawab Bang Hasan dengan susah payah. Suara yang keluar dari mulutnya yang mencong terdengar sengau. Matanya menatap Bang Hasan dengan sorot nanar. Perlahan, dia menoleh ke arahku yang masih duduk, terisak di samping kirinya.
Bibir Ibu berkedut-kedut. Matanya yang sayu mulai berair begitu dia melihat sosokku. Tangannya yang kurus seperti lidi terjulur pelan menggapai lenganku. Bahuku berguncang-guncang. Kepalaku terkulai semakin dalam bersamaan dengan air mata yang kian menderas.
"Na ..." Ratih mengusap-usap pundakku, membujuk agar aku mengangkat wajah. Namun, seluruh tubuhku seolah terasa kaku. Alih-alih mengangkat wajahku, mencium takzim tangan Ibu atau balas menatap tatapan rindunya, aku justru bangkit dari ranjangnya. Setengah berlari, aku keluar dari kamar yang menyesakkan dada itu, kembali ke ruang tamu. Tangisku tumpah ruah di sana.
"Na!" Suara Bang Hasan terdengar penuh emosi. Dia segera menyusulku.
"Apa yang kamu pikirkan, Na? Itu Ibu!" tukasnya. Tak kulihat Ratih di sini, mungkin dia sedang menemani Ibu dan menjelaskan semua ini padanya.
"Apa hatimu sudah benar-benar mati, Na? Apa kamu masih bisa membenci Ibu bahkan dalam keadaannya yang seperti itu? Aku sudah bilang padamu kan, Ibu membiarkanmu pergi untuk melindungimu agar lelaki bejat itu tidak bisa menyentuhmu lagi! Mustahil Ibu bisa mengusir Haryo saat itu, Na, dan itu bukan berarti Ibu ringan hati melihatmu pergi dengan luka sebegitu besarnya! Na, dia juga terluka! Lebih terluka darimu. Lihat, sampai sekarang!"
Kepalaku berdenyut-denyut. Bang Hasan sama sekali tidak paham dengan situasiku. Kenapa dia bisa berpikir kalau aku masih menyimpan rasa benci itu pada Ibu?
"Na, jawab a-"
"Diam, Bang!" Akhirnya aku bersuara setelah puas menangis. Kuseka air mataku dengan ujung jilbab cokelat muda yang kukenakan. "Atas dasar apa Bang Hasan mengira aku masih membenci Ibu? Tidak, Bang! Aku tidak membencinya! Aku hanya tidak tahan melihat keadaan Ibu yang seperti ini. Aku tidak bisa menjelaskan pada Ibu kalau aku yang sekarang bukanlah puterinya yang dulu lagi. Aku kebingungan, Bang! Aku takut! Aku takut pertemuanku dengannya akan semakin melukai hatinya. Kenapa Bang Hasan tidak mengerti? Enam tahun yang kulalui kemarin tidak akan bisa diterima siapa pun, Bang. Aku berdosa. Aku merasa tidak pantas lagi menemui Ibu ..."
Pipiku kembali basah oleh air mata, sementara Bang Hasan tercekat mendengar pengakuanku. Rahangnya yang tadi menegang, kini mengendur. Dia akhirnya duduk di sampingku sambil meremas-remas rambutnya seperti orang frustrasi.
"Tinggallah dulu di rumah, Na. Kalau perlu tidak usah lagi ke pesantren. Tunggui Ibu," katanya lirih.
"Aku tidak ingin berdebat lagi soal ini, Bang. Sekarang boleh aku ke kamar? Aku ingin sendiri dulu. Nanti akan kutemui Ibu begitu aku sudah siap." Tanpa merasa perlu menunggu persetujuan Bang Hasan, aku bergegas melangkah ke kamarku yang dulu. Mungkin lebih tepatnya, bekas kamarku.
*
Malam harinya, Bang Hasan menyuruhku menyuapi Ibu. Ratih sudah membuatkan bubur yang dari baunya saja benar-benar menggugah selera. Melihat perkembanganku yang tidak jelas, Bang Hasan urung kembali ke pesantren. Rencananya, dia baru akan pulang ke sana besok pagi-pagi.