Namun, Allah tidak mendengar. Aku bertanya-tanya apakah Dia begitu dendam padaku karena telah meninggalkan-Nya, sehingga doaku yang diiringi derai air mata itu tidak digubris? Padahal toh doa itu bukan untukku, tapi untuk Ibu.
Segalanya terjadi begitu cepat. Dokter memberitahu kami bahwa Ibu terkena serangan jantung. Begitu saja. Lalu, semuanya memburuk. Ibu tidak sadar sama sekali setelah pingsannya itu. Pada pukul tiga dini hari, tubuhnya seperti mengejang dan ... itulah saat-saat terakhirnya. Ibu pergi. Selamanya. Menyusul Bapak.
Kini hanya tersisa aku yang terisak-isak di sebelah gundukan tanah merah yang masih basah. Ratih menenangkanku, membawa kepalaku bersandar di pundaknya meski matanya sendiri tak henti mengeluarkan air mata. Seperti ada lubang menganga yang sangat besar di hatiku saat ini. Lubang penyesalan yang begitu dalamnya. Lubang kekecewaan pada Rabb semesta alam.
Seumur hidup, aku tak pernah merasa sekecewa dan menyesal sampai seperti ini. Bahkan kekecewaanku pada-Nya karena Dia tidak mendengar doaku saat aku diperkosa dulu, tidak separah ini. Aku tidak tahu lagi apakah lubang ini bisa tertutup. Apakah lukaku bisa sembuh?
"Na ... ayo kita pulang." Ratih membantuku berdiri. Kulihat Bang Hasan masih berbincang dengan beberapa pelayat di luar areal pemakaman.
Ajakan Ratih membuatku semakin tergugu. Aku belum sempat meminta maaf pada Ibu. Bahkan, kemarin siang saat dia masih bisa bangun, saat dia masih sadar dan ingin aku seutuhnya hadir untuknya, aku justru lari karena tidak bisa mengendalikan emosi. Sekarang, sikapku tersebut benar-benar berbuah penyesalan yang tiada habisnya. Andai aku tahu, Bu, andai aku tahu.
"Na, doakan Ibu. Doa anak salihlah yang akan membuat dia bahagia di sana." Ratih kembali membisikkan kalimat penenangnya.
Aku membersit ingus dengan ujung jilbab. Percuma, batinku. Allah tidak pernah mendengar doa-doaku. Alih-alih mengabulkan apa yang kupanjatkan, dia justru menjadikan nyata semua ketakutanku. Aku tidak akan berdoa lagi pada-Nya. Apakah masih kurang niatku untuk bertaubat? Apalagi yang Allah butuhkan dariku?
Buncahan emosi yang melesak di dadaku membuat sekujur tubuhku lemas. Aku mencoba berdiri menyejajari Ratih, tapi sedetik kemudian tubuhku ambruk. Sebelum penglihatanku menjadi gelap seluruhnya, aku bisa merasakan sepasang tangan menangkap tubuhku.
*
"Apa kamu begitu membenci Ibu sampai tega meninggalkan Ibu seperti ini, Nduk?" Sosok berjilbab itu menangis di sampingku yang sedang terpejam.
Aneh. Aku bisa melihat diriku sendiri yang terbaring tak berdaya, dan Ibu yang berdiri di sebelahku sambil menangis. Dia mengenakan pakaian serba putih, jilbab putih, wajah yang cerah berseri tapi menyiratkan kesedihan.
"Ibu cuma pengin minta maaf sama kamu, Nduk, kalau di hari terakhir kita bersama, kamu sakit hati atas sikap Ibu," bisiknya tepat di telingaku.