Waktu adalah misteri. Allah membuatnya demikian mungkin agar manusia benar-benar memanfaatkannya dengan baik. Waktu tak bisa diputar ulang. Yang sudah berlalu, ya berlalu. Sayangnya, manusia juga tidak diizinkan mengetahui apa yang akan terjadi di waktu-waktu mendatang. Hidup yang dilingkupi ruang waktu sebetulnya benar-benar penuh kejutan. Bahkan, katanya, orang yang hari ini meninggal masih menjalani hidup yang normal-normal saja di hari kemarin. Mereka sama sekali tidak tahu kalau esok ajal akan menjemput. Bukankah itu mengerikan?
Enam bulan berlalu bagai lesatan anak panah. Menukik cepat dan tajam. Aku masih terkurung di pesantren Bang Hasan dengan semangat hidup yang tidak pernah ada lagi. Ibu turut membawa harapan dan asaku ke liang lahatnya. Sekarang, aku merasa kalau bertemu Master Don dan membiarkannya menghabisiku akan lebih baik. Aku sudah tidak membutuhkan kehidupan. Hidup dengan bongkahan penyesalan yang begitu besarnya membuatku benar-benar sesak.
Mimpi-mimpi buruk hadir lagi sepeninggal Ibu. Setelah tujuh hari kepergiannya, aku tidak tahan lagi berada di rumah. Aku memutuskan untuk kembali ke pesantren bersama Bang Hasan. Rencananya, Bang Hasan hanya akan menghabiskan satu tahun lagi di pesantren. Dia akan keluar dan pulang ke rumah, menemani Ratih.
Namun, aku tidak bisa. Rumah terasa bagai neraka yang membakar hatiku. Di sana aku tak akan bisa lepas dari aroma Ibu. Kalaupun setelah Bang Hasan keluar dari pesantren dan aku juga harus keluar, aku tidak akan pulang. Pergi jauh dan sendiri akan lebih melegakanku.
Kemarahan pada Allah yang sempat muncul lagi kini sudah mereda. Meski tak dapat kupungkiri, aku melaksanakan kewajiban seperti salat dan sebagainya hanya sebatas ritual saja. Getaran hati yang membuatku menangisi dosa-dosa seperti tempo lalu tak kurasakan lagi. Aku tak ubahnya mayat hidup yang tidak punya arah dan tujuan.
Aku bosan hidup.
*
Bang Hasan menghampiriku ba'da maghrib di dapur pesantren dengan raut wajah yang tak bisa kutafsirkan. Ada sepercik kegembiraan yang terpancar lewat matanya saat dia buru-buru mengajakku ke ruang kantornya. Ada yang ingin dibicarakan, begitu kata Bang Hasan. Penting.
"Ada apa, Bang?" tanyaku tak bersemangat setelah duduk di depan area kantor. Ba'da maghrib begini, santri-santri sedang sibuk mendarus Al-quran. Gaungan ayat suci tersebut terdengar jelas dari masjid.
Bang Hasan berdeham sejenak, lalu menatapku dengan sungguh-sungguh. "Na, bagaimana kalau kamu menikah?"
Kalau saja sekarang aku sedang minum atau makan, pasti aku akan tersedak. Namun, karena arah pembicaraannya yang tidak bisa kutebak, membuatku berbalik menatap Bang Hasan dengan tanda tanya besar yang sangat kentara.
"Maksudku, kamu kan sudah cukup dewasa, Na? Berapa umurmu sekarang? 27 tahun, kan? Apa yang menghalangimu untuk menikah, selain karena belum ada calonnya?" Bang Hasan menyeringai. Seringai mengejek yang dulu saat kecil selalu kulihat setiap kali dia menggodaku. Aku tidak bisa menahan senyum demi melihat seringai itu. "Sekarang masalah calon sudah terpecahkan, Na. Adikku ini rupanya ada yang mau juga, ya. Anak Pak Kyai pula."