Obrolanku dengan Bang Hasan itu telak menjadi beban baru dalam hidupku yang sudah pelik ini. Rasanya aku benar-benar ingin menghilang saja dari bumi. Aku tak tahu bagaimana bisa seorang Adam yang bahkan bisa dibilang tidak mengenalku sama sekali, mendadak ingin menjadikanku sebagai istrinya. Bagaimana pula Bu Nyai dan Pak Kyai setuju tentang itu? Bukankah mereka seharusnya mencarikan Adam pendamping yang sepadan?
Jawabanku jelas tidak. Mungkin Adam memang lelaki baik, yang berbeda dari lelaki-lelaki bejat yang sering kali kutemui, tapi tetap saja---tidak. Aku tidak akan menikah. Latar belakangku tidak akan bisa diterima oleh orang normal mana pun. Kalaupun ada pujangga cinta yang bilang bahwa masa lalumu adalah milikmu, masa laluku adalah milikku, tapi masa depan adalah milik kita, jawabannya tetap tidak.
Memangnya bisa bertahan berapa lama sebuah hubungan yang di awalnya saja sudah bertabur kebohongan? Jika aku nekat menerima dan menyembunyikan masa laluku, menganggap semua itu tak pernah terjadi, aku hanya akan menyakiti satu keluarga baik ini. Terlebih, aku juga harus terus menerus membohongi diri sendiri. Aku tak akan bisa tahan. Jadi, aku tak perlu beristikharah dan meminta petunjuk Allah. Petunjuk itu sudah terlihat sangat jelas. Tidak.
Namun, meski logikaku nyaris sempurna berkamuflase dengan terus menyuguhkan alasan-alasan penolakan terbaiknya, sialnya hatiku seperti berkhianat. Akhir-akhir ini, harus kuakui aku jadi lebih sering lama-lama di depan cermin, memperhatikan apakah ada jerawat di wajahku, apakah pakaianku matching dan rapi persis remaja yang baru kasmaran. Kadang juga terlintas sejenak di benakku saat aku melihat pantulan wajahku di cermin. Apa yang Adam sukai dari wajah Hasana ini? Apa menurutnya aku cantik? Lalu, pipiku akan memanas dan bersemu.
Tentu saja aku merutuk bagian diriku yang lemah dan rapuh ini. Aku merindukan Aileen yang tidak punya hati, yang setengah mati membenci lelaki dan berjanji tidak akan pernah tunduk pada lelaki mana pun. Namun, kenyataannya, yang tersisa dalam diriku adalah Hasana. Hasana yang bisa jatuh cinta seperti perempuan-perempuan lainnya. Hasana yang kini rajin sekali jamaah di masjid, dan langsung kebat-kebit saat melihat Adam---meski hanya punggungnya. Aku benar-benar membenci sinyal aneh dalam diriku ini.
Mempersiapkan mulutku untuk bilang tidak sekarang jadi lebih sulit karena hatiku seolah ingin mengiyakan khitbahan Adam. Setiap malam sebelum tidur, aku harus meyakinkan diri bahwa memulai hidup baru setelah pensiun dari profesi pembunuh bukannya benar-benar harus mengambil langkah ekstrem seperti menikah dengan anak Pak Kyai. Aku juga sebisa mungkin menepis perkataan Bang Hasan bahwa mungkin saja Adam adalah perantara dari Allah supaya aku jadi manusia yang lebih baik.
Tidak. Itu semua tidak benar, bukan?
Dengan bayangan Master Don yang masih terus menghantuiku, aku tidak boleh melakukan ini. Aku tidak boleh mencintai orang lain, karena nanti Master Don pasti akan menyakitiku dengan menyakiti orang yang kucintai itu. Aku tidak bisa mengambil risiko tersebut. Kalau harus ada yang terluka, yang mati di tangan Master Don, orang itu hanyalah aku. Tidak ada yang lainnya. Dalam hal ini, aku tidak boleh menggunakan hati.
*
Dua bulan yang diberikan Adam untukku berpikir terasa bagai dua minggu saja. Belum juga aku menemukan ide, menyusun kebohongan selanjutnya untuk menolak khitbahan itu tanpa menyakiti keluarga Pak Kyai, aku sudah kehabisan waktu. Semalam, Bang Hasan benar-benar membawa berita yang membuatku nyaris tak bisa memejamkan mata barang satu menit pun.