"Apa tepatnya yang membuat kamu menolak niat baik Adam, Nduk? Apa sudah ada yang melamarmu?" Sekarang Bu Nyai yang angkat bicara. Raut wajahnya masih menyiratkan ketidakpercayaan.
Aku menggeleng pelan. Sebelum menjawab, kalimat Bang Hasan yang dikatakannya semalam terngiang lagi di telingaku. "Na, kamu tidak harus menceritakan masa lalumu. Dalam pernikahan sah-sah saja menyembunyikan masa lalu burukmu jika pasanganmu tidak bertanya. Yang sudah sudah biarkanlah berlalu. Yang penting adalah dirimu yang sekarang, Na."
Semalaman aku memikirkan tentang itu. Namun, jawabannya tetap tidak. Masa laluku yang kelam tersebut tidak akan pernah bisa kusembunyikan. Aku akan merasa sangat tersiksa jika menyembunyikannya dari orang yang akan menghabiskan sisa umurnya denganku. Yang benar saja. Jika benar aku butuh suami, maka yang kuperlukan adalah seseorang yang mau menerimaku dan seluruh kisah hidupku, bukan hanya diriku yang sekarang saja.
"Hasana?" Bu Nyai menegurku, membuatku sedikit berjengit.
"Tidak, Bu Nyai. Belum. Maksud saya, saya belum punya calon. Hanya saja saya benar-benar tidak bisa menerima semua ini. Saya mohon maaf Bu Nyai, bukan maksud saya menyinggung Mas Adam dan keluarga besar, tapi saya memang tidak bisa ..."
Bang Hasan sedang mengusap wajahnya yang kian gusar saat aku meliriknya. Aku tahu Bang Hasan menginginkan supaya aku menerima lamaran Adam. Namun, bagiku ini bukanlah perkara yang mudah. Di samping Bang Hasan, Adam masih duduk di posisinya semula. Bersila sambil menunduk dengan takzimnya. Sekarang, pemuda itu mendongak, pandangannya lurus padaku. Jantungku yang masih bertalu-talu tak karuan semakin tidak bisa kukendalikan.
Adam kemudian membuka mulutnya, mengucapkan basmallah diikuti kalimat panjang yang membuatku panas dingin. "Hasana, bolehkah aku tahu alasan kenapa kamu tidak menerima khitbahanku?" tanyanya. Namun, sebelum aku menjawab, dia sudah berbicara lagi. "Aku paham, mungkin kamu terheran-heran karena perilakuku. Kita memang belum saling mengenal, tapi aku sungguh-sungguh bersimpati padamu. Aku bisa melihat kalau kamu adalah perempuan yang baik, dan setelah aku bertanya pada Ibu, beliau memberikan restunya padaku. Itu semakin memantapkan hatiku, Hasana.
Tentu sebelumnya aku juga telah beristikharah untuk minta petunjuk Allah. Aku ingin menyempurnakan separuh agama-Nya dengan wanita baik, yang taat pada Allah dan rasul-Nya. Aku, insyaAllah telah menemukan itu semua pada dirimu, Hasana. Untuk urusan perasaan, saya tahu, perasaan dapat dibiasakan dan berubah seiring berjalannya waktu dalam pernikahan." Adam menyunggingkan senyumnya. Senyum itu seakan mampu meruntuhkan hatiku. "Tentu yang kumaksud adalah perasaanmu, Hasana. Karena, insyaAllah aku sudah yakin dengan perasaanku padamu. Jadi, kenapa kamu menolaknya?"
Gelenyar aneh berpilin dalam perutku seiring dengan telinga dan pipiku yang memanas. Pernyataan Adam barusan berhasil membuat detak jantungku semakin tak beraturan. Aku yang semula sudah mantap untuk membuat pengakuan, kini harus kembali memupuk keberanian. Keberanian itu runtuh gara-gara perkataan Adam, berganti dengan kepasrahan yang nyaris membuatku berharap. Apakah aku sebaiknya menuruti perintah Bang Hasan saja? Menerima lamaran ini, menyembunyikan masa laluku, bahkan menguburnya dalam-dalam? Namun, bagaimana kalau tiba-tiba Master Don datang?
Gagasan terakhir yang muncul dalam benakku membuat keberanianku perlahan kembali. Aku tidak boleh berharap. Aku akan mengatakan siapa diriku sebenarnya agar Adam dan keluarga tidak terus bertanya-tanya. Urusan apa yang akan terjadi setelah itu, biar kupikirkan nanti. Yang penting, sekarang aku harus jujur pada diriku sendiri dan mereka semua.
"Sebenarnya ..." Lidahku langsung kelu. Kedua mata Adam seketika tertuju padaku, begitu pula dengan Bang Hasan. "Alasan kenapa saya menolak khitbahan ini sebenarnya karena saya bukanlah orang baik seperti yang Mas Adam sangka." Perkataan tersebut meluncur dengan mulus.