Kini, Bu Nyai tak hanya terkejut. Beliau bahkan memegangi dadanya hingga aku ketakutan setengah mati kalau-kalau mendadak wanita itu pingsan di tempat. Syukurlah ketakutanku tidak terjadi. Alih-alih, Bu Nyai pamit ke dalam. Aku yakin beliau syok mendengar pengakuanku barusan.
Pak Kyai masih bergeming dengan tasbihnya, sementara Adam tak henti beristighfar. Para pengurus yang hadir di situ mendengungkan kalimat-kalimat yang tidak bisa kutangkap. Mereka berbisik, tapi yang keluar jauh lebih keras untuk disebut bisikan. Aku menelan ludah susah payah. Meski rasa bersalah pada Bang Hasan menghimpit dadaku, tapi ada perasaan lega yang juga tidak dapat dijabarkan.
"Dam, setelah satu tahun di sini, apalagi setelah wafatnya Ibu kami, Hasana sudah berubah. Dia bukan lagi Hasana enam tahun lalu. Dia sudah bertaubat. Benar kan, Na?" Tak kusangka perkataan itu akan terlontar dari mulut Bang Hasan. Adam memandangnya lekat-lekat. "Aku ... aku minta maaf karena tidak mengatakan yang sejujurnya padamu. Pada Pak Kyai juga. Maafkan saya, Pak Kyai." Mata Bang Hasan mulai berair.
Aku, yang tak punya gambaran apa pun tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, hanya bisa menyelamatkan Bang Hasan. "Bang Hasan benar-benar tidak tahu apa-apa soal saya, Pak Kyai. Ini semata-mata adalah ide ceroboh saya. Tolong jangan libatkan Bang Hasan dalam masalah ini. Saya akan melakukan apa pun keputusan Pak Kyai dan pesantren," ucapku.
Kulihat Pak Kyai menghela napas, sejurus kemudian sosok berwibawa itu memandangku lekat-lekat. "Sebenarnya, Hasana, cerita masa lalumu itu bukan urusan kami. Namun, karena sekarang kamu berada di sini, maka mau tidak mau kami juga terlibat dalam persoalanmu."
Gemuruh obrolan dari para staf semakin memanas. Aku dapat melihat kemarahan di mata mereka. Pengakuan ini betul-betul seperti bisul pecah yang berdampak buruk. Meski begitu, aku tidak menyesal telah mengatakannya. Hanya, rasa bersalah pada Bang Hasan yang menggunung ini tidak dapat kuhindari.
"Maaf Pak Kyai, apa tidak sebaiknya Hasana pergi saja dari sini?" Salah seorang staf berkata terus terang tanpa tedeng aling-aling. Aku memilih pasrah, tidak menanggapi. Urusan ini sudah sepenuhnya kuserahkan pada Pak Kyai. Apa pun keputusannya akan kuterima.
"Benar, Pak Kyai. Kalau Nur dan Rizki yang mencuri saja tidak layak ada di sini, apalagi seorang pembunuh?"
Bang Hasan mengangkat wajahnya. "Tolong jaga bicaramu. Adikku sudah bertaubat. Kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari masa lalunya," katanya tegas sambil menghunuskan tatapan murka pada staf tersebut.
Perutku semakin terasa terpelintir. Tidak kuduga Bang Hasan akan membelaku seperti ini. Seharusnya dia tidak perlu lagi melakukan hal itu. Aku bukan Hasana kecilnya yang tak berdaya lagi sekarang. Aku Hasana yang sudah membunuh puluhan orang.