"Usir saja! Usir, usir! Kami tidak mau pesantren ini jadi tempat sembunyi seorang pembunuh, Pak Kyai! Nanti kita ikut terciprat dosanya. Nauzubillah." Suasana muhadhoroh kacau balau karena sebagian santri mendadak membentuk tim pengusiran padaku. Aku, yang hendak beranjak ke dapur, hanya bisa bergeming di depan gerbang masjid karena dihalangi oleh barikade santri. Di sampingku, Bang Hasan berdiri kokoh sembari menghalau para santri yang nyaris berbuat anarkis.
"Orang seperti dia harusnya ada di penjara, Pak Kyai! Dia melanggar hukum negara dan kita malah melindunginya. Kita salah besar!"
"Betul! Betul!" teriakan lantang bergema kembali. Sebelum berlanjut, sosok Adam yang berwibawa menyeruak dalam gerombolan itu.
"Cukup!" serunya. "Cukup!" Kedua tangan Adam terangkat ke atas, memberi sinyal pada para santri agar berhenti mengacau. Di balik punggung Bang Hasan, aku cuma bisa menggigiti bibir. Sepertinya memang sudah saatnya aku pergi dari sini.
"Bukankah kalian semua santri?" Adam menggertak, diikuti seruan 'ya' dari murid-muridnya. "Lalu kenapa kelakuan kalian tidak beradab seperti ini? Apa ini yang kalian pelajari di pesantren kita? Asal main hakim sendiri?"
"Kami tidak main hakim, Tadz! Kami cuma tidak mau ada pendosa yang mencemari pesantren ini. Dia seharusnya dihukum karena perbuatannya!"
"Kalian tidak usah khawatir." Ucapan Adam bernada datar. "Hasana akan mempertanggungjawabkannya, baik di dunia maupun di akhirat."
Aku menelan ludah mendengar jawabannya. Apa maksudnya aku akan dilaporkan ke pihak berwajib? Bang Hasan--sepertinya punya pikiran sama denganku--menyenggol lengan Adam.